MAKALAH
“Keselamatan Oleh
Kasih Karunia Berdasarkan Kitab Efesus Dalam Pengajaran Tabernakel Serta Implementasinya
Bagi Gereja Masa Kini”
Disusun Untuk Memenuhi
Mata Kuliah:
PENGAJARAN
TABERNAKEL
PROGRAM SARJANA TEOLOGI
(S.TH)
Dosen Pengampu:
Anthony
Kairupan, M.Th.
Disusun
Oleh:
Joko
Prasetyo || 207.ST.12.18
Murniwati
Ndraha || 211.ST.12.18
Rizky
Arya Susanto || 214.ST.12.18
Samuel
Risa Smith Batubara || 215.ST.12.18
Yosua
Oktapianus Humendru || 219.ST.12.18
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI TABERNAKEL INDONESIA
(STTIA)
TAHUN
AJARAN 2019/2020
Surabaya,
Juni 2021
Bab I
Pendahuluan
Latar Belakang
Belakangan ini banyak
isu teologis yang berkembang di kalangan para teolog bahkan hingga sampai
kepada kaum awam. Salah satu bahasan yang menarik ialah mengenai keselamatan.
Keselamatan merupakan kebutuhan dan tujuan hidup setiap manusia baik di dunia
sekarang ini maupun pada kekekalan. Topik mengenai keselamatan ini, ternyata
telah menjadi pembahasan semenjak filsafat Yunani berkuasa. Sejarah menyebutkan
bahwa keselamatan pada waktu kekuasaan filsafat Yunani didapatkan melalui
dewa-dewi kepercayaan Yunani yang dipercaya dapat memberikan keselamatan
melalui persembahan yang diberikan sampai-sampai memerlukan riual inisiasi.[1]
Ajaran mengenai
keselamatan sangatlah penting bagi setiap orang percaya. Terlebih lagi adanya
suatu akibat jika seorang Kristen tidak memberitakan Injil keselamatan (Galatia
1:6-9). Jika ajaran tentang keselamatan ini tidak dimengerti secara jelas, maka
akan berakibat bagi pemberitaan Injil yang tidak sesuai atau palsu bahkan
menyesatkan.[2]
Penelitian
ini dilatar belakangi dengan penemuan fakta bahwa ada beberapa pelayan firman
Tuhan yang tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya telah diselamatkan oleh kasih
karunia. Kenyataan ini peneliti dapatkan dari hasil pengamatan dan wawancara.
Pelayan firman yang dimaksud adalah baik pengkhotbah di ibadah minggu maupun
para pemimpin kelompok sel. Para pelayan firman ini memiliki latar belakang
pendidikan yang berbeda-beda dan juga telah melayani dalam kurun waktu yang
berbeda juga. Peneliti menilai bahwa seorang pelayan firman harus memiliki
pemahaman dan penerapan yang baik dari doktrin keselamatan, karena ini doktrin
dasar dan sangat penting.
Berkaitan dengan ini
peneliti menyusun sebuah penelitian disertai dengan judul di atas. Peneliti
membatasi unit analisis pada Kitab Efesus, karena Kitab ini dengan jelas
mengajarkan berbagai karya keselamatan Allah dalam hidup orang percaya yang
dilandasi oleh kaasih karunia-Nya yang dapat digolongkan dalam empat hal pokok:
Allah memilih sebagai anak, Allah memateraikan dengan Roh Kudus, Allah
menyelamatkan oleh iman dan perbuatan baik berperan sebagai tanda karya
keselamatan Allah.
Tabernakel
merupakan suatu objek yang sangat penting dalam perjalanan umat Israel di padang
gurun (Kel. 25-40). Setelah bangsa itu sampai di Kanaan – tanah yang dijanjikan
kepada Abraham dan keturunannya, dan setelah Israel menjadi suatu kerajaan yang
kokoh dalam pimpinan Daud – Salomo, Tabernakel kemudian digantikan dengan
bagunan yang permanen, yakni Bait Allah sesuai dengan kerinduan hati Daud (bd.
2 Taw. 5:5. Jika Bait Suci adalah bentuk permanen dari Tabernakel, maka dapat
dilihat hal ini sebagai suatu kontiniuitas. Dalam kitab Wahyu kita melihat
pemakaian istilah “kemah” dan “bait” dalam satu konteks (bd. Why. 21:3,22)
Kosenp bait suci yang bersifat permanen sebenarnya sudah
mulai dikenal sejak masa hakim-hakim, pada masa Eli dan Samuel (1 Sam. 1:9).
Dalam Bait Suci Salomo, pola dasar dari Tabernakel ini tetap dipertahankan,
baik dalam ruangan-ruangan utama (Halaman, Ruangan Suci, dan Ruangan Maha Suci)
dan peralatan-peralatan serta tata cara ibadah di dalamnya yang diatur dalam
Hukum Taurat. Penting untuk kita ingat bahwa Tabernakel sendiri dibangun
menurut contoh Kemah Sejati di Sorga – yang didirikan oleh Allah dan bukan oleh
manusia (Ibr. 8:2). Bait Allah seperti Tabernakel dibangun atas inisiatif Allah
sendiri. Benar ada banyangan kekekalan di dalamnya sebagai tipologi Kerajaan
(pemerintahan) Allah, penebusan, kekudusan, keselamatan yang sempurna, bahkan
zaman yang akan datang. Namun bukan berarti berhenti dalam bangunan fisik,
selain hal itu tidak memungkinkan lagi sebab objeknya sendiri sudah tidak ada,
juga pendekatan secara fisik mempersempit makna kehadiran Allah dan tujuan Allah
di dalam pendiriannya.
Terminologi yang dipakai untuk kata yang sepadan dengan
Tabernakel ini, dalam Bahasa Ibrani yakni: ōhel mô’êdh (kemah pertemuan),
miskhan (kediaman), dan dalam Bahasa Yunani skēnē (kemah). Namun terminologi di
atas adalah dalam bentuk kata benda (noun), kita perlu memahami arti kehadiran
lebih dalam kaitan dengan kata kerjanya (verb) [Kel. 25:8; 29:45, bd Yoh. 1:14]
sebagai pernyataan tindakan dan inisiatif Allah untuk berdiam (bertabernakel).
Kebanyakan terjemahan Bahasa Indonesia tidak menangkap tekanan yang ada dalam
Bahasa Yunani. Kata “diam” terjemahan dari kata skenoo yang merupakan bentuk
kata kerja dari “kemah” (skene), Yesus datang dan “berkemah di antara kita.”20
Hal ini banyak terjadi dalam pendekatan yang dipakai dalam memahami Tabernakel,
berhenti pada eksplorasi terhadap objek, bahan-bahan, alat-alat dan ukuran yang
ada pada Tabernakel yang memang dibangun atas petunjuk dari Allah, ada
kecenderungan penekanan arti tipologis dan teologis yang bertujuan lebih mulia
dari objek Tabernakel dengan segala peralatan dan perlengkapannya.[3] Tabernakel
dibangun dalam konteks perjalanan di padang gurun, dan Bait Allah adalah dalam
konteks Tanah Perjanjian, suatu bait yang menetap (permanen) sifatnya.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Pengudusan
1.
Defenisi
Pengudusan
Kata benda
“pengudusan” ditemukan beberapa kali dalam Perjanjian Baru (Roma. 6:19, 22; 1
Kor. 1:30; 1Tes. 4:3 dst, 7; 2 Tes. 2:13; 1 Tim. 2:15; Ibr. 12:14; 1 Pet 1:2).
Ada beberapa kata lain yang memiliki kaitan ketat kata pengudusan: kekudusan
(Rom. 1:4; 2 Kor. 7:1; 1 Tes. 3:13), kudus (KPR. 7:33; 1 Kor. 3:17; 2 Kor.
13:12). Membicarakannya secara luas, kita dapat mendefenisikan pengudusan
sebagai sebuah pemisahan bagi Allah, sebuah pengimputasian (diperhitungkannya)
kristus sebagai kekudusan kita, pengudusan dari moral jahat, dan penyelarasan
pada citra Kristus.
2.
Pengertian
“Pengudusan” dalam Perjanjian Lama
Kata
“kudus” merupakan istilah Ibrani ָקדוֹשׁ(qâdôsh)
yang berasal dari akar kata ָקַדשׁ
(qâdâsh), artinya “menjadi, (dalam arti kata utama: membuat, menyatakan)
bersih. “Kudus” memiliki dua pengertian
yang terpisah. Pertama berkenan dengan kata “bersih, murni” “qādēš, holy”.
Kedua kata “qōdeš, holiness artinya “kesucian, kekudusan” berkenan dengan
situasi atau sesuatu yang abstrak.
Pengertian kata “kudus” lebih mengarah pada pengertian kata
“berpisahan”, maka dengan demikian pengertian kata kudus dalam Perjanjian Lama
adalah menyatakan pemisahan sesuatu hal atau benda dari hal-hal lainnya untuk
dinyatakan bersih dengan tujuan dikhususkan untuk menjadi bagian milik Allah.
3.
Arti Kata
Pengudusan Dalam Perjanjian Baru
Kata
“pengudusan” (Yun. ἅγιασμος, hagiasmos) dari akar kata kata ἅγιος (hagios) yang
berarti “memisahkan”. Akar kata yang sama ditemukan dalam kata‑kata bahasa
Inggris “orang kudus”, “kudus”, dan “kekudusan”. Pengudusan dan istilah lainnya
yang berkaitan digunakan dalam berbagai cara, baik dalam PL maupun PB.
4. Pemisahan Untuk Kepentingan Allah
Pemisahan
untuk Allah didasarkan pada gagasan yang pasti akan pemisahan dari kecemaran.
Ini terutama berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang mati. Jadi Hizkia
menugaskan para Lewi untuk menguduskan rumah Tuhan dengan mengeluarkan hal-hal
sangat menjijikkan dari tempat kudus (2 Taw. 29:5, 15-19). Biasanya, kita
memiliki gagasan positif pada pemisahan atau pendedikasian bagi Allah. Dalam
pemahaman ini, tabernakel dan bait suci telah dikuduskan beserta prabot dan
bejana (Kel. 40:10 dst; Bil. 7:1; 2 Taw. 7:16). Seorang manusia dapat
menguduskan rumahnya atau bagian pada ladangnya (Im. 27:14-16). Tuhan telah
menguduskan anak pertama Israel bagi dirinya sendiri (Kel. 13:2; Bil. 3:3).
Bapa menguduskan Anak (Yoh. 10:36), dan Anak telah menguduskan dirinya sendiri
(Yoh. 17:19). Orang-orang Kristen telah dikuduskan pada saat pertobatan berimannya
(1 Kor. 1:2; 1 Pet 1:2; Ibr. 10:14). Yeremia telah dikuduskan sebelum dia
dilahirkan (Yer. 1:5), dan Paulus berbicara mengenai dirinya yang telah
dipisahkan sejak di kandungan ibunya (Gal. 1:15).
5.
Tiga Aspek Utama
Pengudusan Pada Orang-Orang Percaya Perjanjian Baru
1)
Pengudusan
Posisional (positional Sacification) ini
adalah posisi orang percaya di hadapan Allah, berdasarkan kepada kematian.
Dalam pengudusan posisional ini orang percaya diperhitungkan kudus dihadapan
Allah; ia dinyatakan sebagai orang kudus. Paulus sering mengawali suratnya
dengan menyebutkan orang percaya sebagai orang-orang kudus (Rom. 1:7). Patut
dicatat bahwa sekelompok orang percaya yang duniawi seperti jemaat Korintus
juga disebut sebagai “mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus” (1 Kor. 1:2)
pengudusan posisional ini dicapai melalui kematian Kristus sekali bagi semua
(Ibr. 10:10, 14, 29).
2)
Pengudusan
secara Pengalaman (Eksperiential
Sancfication) meskipun pengudusan posisional orang percaya begitu aman,
pengudusan pengalamannya bisa berfluktasi karena berkenaan dengan kehidupan dan
pengalamannya sehari-hari. Doa Paulus adalah bahwa orang-orang percaya harus
dikuduskan seluruhnya dalam pengalaman mereka (1 Tes. 5:23); Petrus
memerintahkan orang-orang percaya untuk hidup dalam kekudusan (1 Pet. 1:16)
pengudusan pengalaman ini bertumbuh saat orang percaya menyerahkan hidupnya
kepada Allah (Rom. 6:13; 12:1-2) dan saat makan firman Allah (Maz. 119:9-16).
Jelas, ada faktor-faktor tambahan memasuki pengudusan pengalaman.
3)
Pengudusan
Puncak (Perfected Sancification)
aspek pengudusan ini ada di masa depan dan mengantisipasi peru--bahan akhir orang percaya ke dalam keadaan menjadi
seupa dengan Kristus. Pada saat itu semua orang percaya akan diperhadapkan
kepada Tuhan tanpa cacat cela (Ef. 5:26-27)
6.
Pola Dari
Pengudusan Dalam Perjanjian Baru
1)
Memisahkan diri dari yang najis (2 Kor. 6:17)
a.
Mempersatukan
diri dengan kematian dan Kebangkitan Kristus (Gal. 2:20)
b.
Menyerahkan dan
mempersembahkan diri kepada Allah (Rom. 12:1-2)
c.
Pengudusan
merupakan sesuatu yang secara jelas dan pasti yang berlangsung secara terus
menerus.
7.
Kehadiran Allah
Menurut Pengudusan Perkemahan Israel
Kehadiran
Allah yang dinyatakan di Kemah Pertemuan (Tabernakel) menurut pengudusan umat
Israel sebab Allah itu kudus (Im. 11:44). Pengudusan yang dimaksud adalah
sesuai dengan aturan hukum Taurat (15:31). Dalam Kitab Imamat kehadiran Allah
dalam Tabernakel itu menjadi sentral kehidupan seluruh umat Israel, baik
imamat, perkemahan. Allah melalui Musa menyatakan kehendak-Nya bagi umat Israel
(bd. 1:1)
Namun
mengherankan dari pengalaman kehadiran Tuhan yang begitu nyata di tengah-tengah
Israel dengan segala perbuatan Tuhan yang dahsyat dan ajaib, ternyata tidak
mencegah mereka untuk tidak memberontak dan melawan Tuhan, yakni kelompok yang
lahir di Mesir. Berulang kali mereka berbuat dosa dan memberontak kepada Tuhan,
mereka tidak percaya kepada Tuhan, sehingga generasi yang keluar dari Mesir ini
dihukum untuk tidak sekali-kali memasuki tanah Kanaan kecuali Kaleb bin Yefune
dan Yosua bin Nun (Bil. 14:11-38) dan generasi baru yang lahir di padang gurun.
Pembenaran
Doktrin pembenaran merupakan salah satu
pembahasan yang dianggap penting dalam sejarah kekeristenan. Doktrin ini
merujuk cara Allah menyelamatkan umat-Nya dengan kasih dan keadilan, agar umat
dapat dinyatakan benar dihadapan-Nya. Martin Luther adalah salah satu topik
utama yang diperjuangkan dalam reformasi. Reformasi memiliki perjalanan yang
begitu panjang dan kompleks, di mana para reformator berjuang untuk
mempertahankan ajaran yang konsisten dengan ajaran Alkitab.[4]
Reformasi bukan hanya terjadi dan berkembang di negara Jerman saja melainkan di
seluruh daratan Eropa, di antaranya adalah Swis, Belanda, Prancis, Inggris,
Spanyol, Polandia. Kelompok-kelompok reformasi ini memiliki pandangan yang
berbeda dengan Katolik Roma dan menyusun pandangan teologis mereka dalam
pengakuan iman yang menjadi dasar pengajaran komunitas tersebut sekaligus
melawan ajaran-ajaran sesat.[5]
Selain perbedaan, komunitas reformed ini juga membutuhkan pengakuan iman yang
dapat mempersatukan ajaran mereka sebagai pedoman untuk diajarkan kepada
seluruh anggota jemaat, dari anak-anak mau pun orang dewasa.[6]
Doktrin
pembenaran merupakan pengajaran yang sangat penting dalam iman Kristen,
utamanya sejak reformasi Martin Luther dan pasca reformasi yang bertujuan untuk
membawa gereja kepada ajaran yang benar.[7] Namun ada juga pandangan-pandangan yang
berbeda dengan doktrin pembenaran, sehingga menimbulkan diskusi bagi para
teolog dan beberapa kelompok Kristen sampai saat ini. Seperti pandangan
Pelagius, beliau berpandangan bahwa manusia
tidak mendapatkan dosa turunan (original
sin) dari Adam tetapi manusia berdosa karena mengimitasi (imitation)contoh yang tidak baik dari
orang tua dan lingkungan mereka. Manusia memiliki kehendak bebas, jadi dosa
yang dilakukanpun atas dasar kehendak bebas yang manusia lakukan itu sendiri.
Pembenaran dalam bahasa Ibrani dan bahasa Yunani memiliki akar kata yang sama
yang diterjemahkan ke dalam Alkitab bahasa Inggris sebagai “righteousness’ dan “justification”atau “pembenaran.” Dalam Roma 1:17 menyatakan bahwa
orang benar ataua dikaios akan hidup
oleh iman. Bentuk verbal dari kata dikaios
adalah dikaioo yang berarti
“menyatakan kita benar”. Dalam Roma 8:30 menyatakan “dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya
(edikaisomen) dan mereka yang dibenarkan (edikaisomen) mereka itu juga
dimuliakan-Nya.” Fakata yang lain dari kaat kerja Yunani adalah dikaiosis yang berarti “pembebasan atau
pembenaran.” Dalam Roma 4:25, menyatakan bahwa “Yesus yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan
karena pembenaran (dikaiosis) kita.” Kata yang sama juga dipakai dalam Roma
5:18. Dengan demikian kata justifikasi atau
pembenaran berarti “dinyatakan benar
atau dijadikan benar.
Maksud Paulus dalam Roma 3 yaitu tentang
pembenaran, yang menjelaskan bahwa Allah menyatakan orang percaya sebagai orang
benar berdasarkan penebusan oleh karena kematian Kristus yaitu bagi yang
percaya melalui iman dan pertobatan (respon) di dalam Dia. Allah menyatakan
bahwa kita telah ditebus dari Hukum Taurat atau dibebaskan karena penghukuman
oleh dosa-dosanya, karena kematian. Kristus mati untuk menebusnya dari
dosa. Maka karena itu, setiap orang
percaya diampuni dan dibenarkan atau dinyatakan benar oleh karena percayanya
kepada Kristus.
Jika pembenaran hasil dari perbuatan,
Paulus akan menjadi pemenangnya. Sebab dia adalah orang yang hampir sempurna.
Dalam suratnya yang ditulis kepada jemaat Filipi mengatakan “tentang kebenaran
dalam mentaati hukum Taurat aku tidak
bercacat” (Filipi 3:6b). Paulus menjelaskan bahwa pengenalannya akan
Kristus sehingga ketaatannya yang lama tidak berguna. Sebab bukanlah karena
perbuatan Paulus dibenarkan, melainkan karena imannya kepada Kristus.
Dalam Roma 3:21-31 Menjelaskan
bagaiamana Allah telah menyatakan (melalui Kristus), dan dalam pasal 4 ia
menjlaskan bagaiaman kebenaran Allah disaksikan dalam kitab Taurat dan
kitab-kitab para nabi. Bagian ini Paulus menegaskan kepada umat Kristen, bangsa
Yahudi dan orang-orang kafir bahwa manusia tidak akan pernah bisa lolos dari
ancaman maut, meloloskan diri dengan jalan membenarkan diri (gagal). Maka
Paulus menjelaskan keselamatan dengan cara yang lain yaitu dengan percaya
kepada Yesus yang telah menjadi korban untuk menyelamatkan manusia berdosa.
Jadi jika manusia mau menyerahkan diri kepada kasih dan karya Allah dengan
menerima persediaan anugerah-Nya, ia akan diselamatkan. Jika manusia menolak
dan mengabaikan tawaran anugerah yang Allah telah berikan maka mereka binasa.[8]
Pembenaran merupakan bagian dari karya
penebusan Allah kepada umat-Nya yang telah dipilih di dalam Yesus Kristus.
Setiap orang yang sudah dipilih oleh Allah pasti akan dibenarkan karena
pembenaran adalah satu mata rantai dari rancangan penebusan-Nya.[9]
Inilah yang disebut teologi Paulus yang bersifat doktrinal, di mana dapat
dilihat pada bagian pertama dipaparkan bahwa pembenaran dianugerahkan Allah
kepada orang-orang yang telah dipanggil secara efektif oleh-Nya. Jadi kebenaran
yang ada dalam diri orang percaya bukanlah karena melakukan perbuatan benar
tetapi karena Kristuslah yang diperhitungkan melalui ketaatannya sampai mati
dan menanggung dosa manusia diatas kayu salib.
Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat mengalami pertobatan jika
Allah sendiri tidak membenarkan manusia terlebih dahulu. Pembenaran merupakan
karya Allah bagi kehidupan setiap manusia. Bukanlah pertobatan yang menjadikan
manusia selamat tetapi pembenaran melalui kematiannyalah yang menyelamatkan
setiap manusia. Pertobatan hanyalah sebuah respon manusia terhadap pembenaran
yang Allah telah berikan.
Pemujaan/Pemuliaan
Pemuliaan merujuk kepada anugrah
Allah, yakni saat kaum pilihan Tuhan diterima di Surga. Semua orang pilihan
akan disatukan menjadi serua dengan Kristus dan mereka akan hidup di hadapan
Allah dan memuliakan Dia untuk selama-lamanya. Karaya penebusan Allah meliputi
panggilan, pembenaran, adopsi, pengudusan, dan pemuliaan. Pemuliaan merupakan
karya penebusan Allah yang hanya dapat disempurnakan pada Akhir Zaman. Status
pemuliaan orang percaya adalah realita dalam hidup pada saat ini (Efesus 2:6-7)
bahkan juga melalui penebusan Kristus yang secara progresif hingga mencapai
kepenuhan pada akhir zaman (Kolose 3:1-4).
Karya pemuliaan Allah telah
dinyatakan dalam kehidupan orang kudus yang berpikiran surgawi sehingga
kepergian mereka ke surga seperti tanpa transisi. Pemuliaan orang percaya
dinyatakan dalam sejarah dan tetap nyata sampai sekarang ini. Kerajaan Allah
juga didirikan di bumi melaui orang-orang kudus yang menjalani hidup didunia
dengan status pemuliaan kepada Kristus. Hanya oleh anugrah Tuhan manusia yang
berstatus berdosa dianggkat menjadi mulia, namun tujuan karya Allah bukanlah
untuk kemuliaan ciptaan-Nya, tetapi untuk kemulian-Nya. Untuk itu pemuliaan bukan
untuk memuaskan diri manusia tetapi untuk merefleksikan karya kemuliaan Allah
mellaui diri manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datan.
Pengajaran
Tabernakel
Pengajaran
Tabernakel adalah suatu pokok penting yang tercantum dalam Alkitab. Dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terdapat 50 Pasal yang menuliskan tentang
Tabernakel (Kemah Suci). Tabernakel juga merupakan objek terpenting dalam
perjanalanan umat Israel di Padang Gurun (Kel. 25-40). Setalah bangsa Israel
sampai di Kanaan tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham dan keuturnnanya,
dan setelah Israel menjadi suatu kerajaan yang kokoh dalam pimpinan
Daud-Salomo. Tabernakel kemudian digantikan dengan bangunan yang permanen yakni
Bait Allah sesuai dnegan kerinduan hati Daud (band. 2 Taw. 5:5). Sebab jika
Bait Suci dlihat sebagai bentuk permanen dari Tabernakel, maka dapat dilihat
sebagai suatu kontiniuitas. Dalam kitab Wahyu dapat dilihat pemakaian istilah
“kemah” dan “Bait” itu dalam satu kontek (Bnd. 21:3, 22). [10]
Pengajaran Tabernakel
juga merupakan suatu doktrin Alkitabih seutuhnya berdasarkan pola Kerajaan
Sorga (Ibr. 8:5), yakni Pola Keselamatan dari Allah. Pangajaran Tabernakel
bermula dari ungkapan yang diberikan oleh Roh Kudus kepada Pdt. F. G. Van
Gessel, pada tahun 1935 melalui Yohanes 1:14 : Firman telah menjadi manusia dan
diam di antara kita “kata Diam” tersebut dibacakan “Bertabernakel” dalam bahasa
Yunani (Skenoo). Inilah yang merupakan ungkapan awal dari keseluruhan “Wahyu”
hal pengajaran Tabernakel yang terus diungkapkan oelh Roh Kudus kepada beliau,
sehingga dengan sangat akurat Perjanjian Lama ada 39 Kitab dan Perjanjian baru
ada 27 Kitab dan itu telah ditetapkan dalam susunan Pola Tabernakel. Tujuan
akhir dari Pengajaran Tabernakel ini adalah Gereja sebagai Mempelai Wanita yang
dipersiapkan bagi mempelai Pria Suraga yaitu Kristus Anak Domba Allah (Wahyu 19:7, 8; Wahyu 21:22).[11]
Dalam
Pengajaran Tabernakel ini perlu adanya pendekatan biblika yang dapat ditempuh
dalam melihat signifikansi Tabernakel dan maknanya sesuai dengan teks sebagai
pewahyuan yang progresif di dalam satu kesatuan yang berkelanjutan dengan
Perjanjian Baru. Sehingga kedua Perjanjian itu dapat dipandang secara adil dan
juga penyataannya yang bersifat progresif bagi iman Kristiani tanpa harus
menafsirkannya ulang.
Tema kehadiran Allah
itu dinyatakan secara berkelanjutan sejak di Taman Eden, dalam mezbah-mezbah, Kemah
Perhimpunan, Bait Allah, Kristus, dan gereja sebagai Bait Allah serta Yerusalem
Baru.
1. Kehadiran
Allah di antara umat-Nya
Pendirian Tabernakel Musa merupakan
inisiatif Allah sendiri di dalam kehendakNya yang berdaulat untuk tinggal
berdiam di tengah-tengah umat Israel sebagaimana yang tertulis didalam Keluaran
25:8-9 “dan mereka harus membuat tempat kudus bagiKu, supaya Aku akan diam di
tengah-tengah mereka”.
Hal “berdiam” ini diantara umat Israe
mengandung arti Allah menyatakan kehadiranNya di tengah-tengah umatNya. Tujuan
kehadiran dalam Tabernakel adalah untuk bersekutu menyatakan penyertaanNya dan
pemerintahanNya diantara umat Israel (Keluaran 25:21-22; 33:15-17).
Dalam Alkitab hal konsep kehadarian
Allah dinyatakan dalam terminologi “di hadapan Allah” yang berasal dari kata
“wajah” dalam bahasa Ibrani “panim” dan dalam bahasa Yunani “prosopon” atau
enopion, “ di hadapan dari”) mengindikasikan kehadiran (prensence).
Menurut Bromiley, jika dihubungkan
dengan Allah ada tiga pengertian dari kahadiran ini, yakni
a. Kehadiran
secara umum dan mutlak seperti digambarkan dalam MZm. 139:7
b. Kehadiran
Allah yang khusus di antara umatNya atau di antara bangsa-bangsa yang akan
diselamatkan atau akan dihakimi (Kel. 30:14; Nah. 1:5). Hal ini di ekspresikan
dnegan kediaman Ilahi pada Tabernakel atau Bait Allah (Maz. 48) dan khususnya pada kedatangan Yesus sebagai
Imanuel (Mat. 1:23; Yoh. 1:14), kediamanNya berlanjut di dalam dan dengan
murid-muridNya oleh Roh Kudus.
c. Kehadrian
Allah di dalam sorga, di mana para malaikat berdiri di hadapanNya (Luk. 1:19),
di hadapanNya tidak ada seoranag yang karena kebenaran dirinnya sendiri dapat
bermegah (1 Kor. 1:29).
2. Kehadiran
Allah dan perjanjian anugerah
a.
Kehadiran
Allah dalam sejarah
Kehadiran Allah dinyatakan kepada
manusia sejak manusia pertama Adam. Allah menyatakan diriNya sebagai tindakan
anugerah terhadap manusia yang diciptakan serupa dan segambar denganNya.
Manusia adalah objek kasihNya. Keserupaanya dengan Allah memungkinkannya untuk
bersekutu, berkomunikasi dengan Allah. Kemudian manusia jatuh dalam
ketidaktaatan terhadap firman Tuhan, jatuh dalam dosa pemberontakan kepada
Allah. Namun, Allah tetap menyatakan
kahadiranNya kepada manusia yang sudah jatuh dalam dosa Kej. 3:8. Jadi,
dinilah terlihat kehadrian Allah dalam anugerahNya yang berdaulat menjadi
sangat berarti, bahwa kehadriannYa tidak dapat dibatasi oleh apapun, bahkan
oleh dosa.
Kahadiran Allah setelah
kejatuhan manusia itu kedalam dosa dikaitkan dengan perjanjian keselamatan
dalan janji penebusan seperti dalam Kej. :15 sebagai proto evangelium setelah
Allah menyatakan penghakimanNya terhadap Iblis, dan selanjutnya terhadap
manusia sebab pemberontakan mereka (Kej. 3:15-19 bd. Ibr. 2:16).
b.
Kehadiran
Allah untuk menggenapi perjanjian-Nya
Kehadiran Allah adalah penyataan
pribadiNya kepada umatNya sebagai Allah Pencipta, Firman yang menciptkan dan
Roh Allah di mana Ia tinggal dan bersekutu dengan umatNya. kehadiranNya pada
awalnya dinyatakan kepada manusia yang diciptakanNya seturut rupa dan
gambarNya di Taman Eden. Manusiadapat
mengenal kehadiran Allah dan dapat berkemunikasi dengan Allah, sehingga terjadi
suatu persekutuan yang intim sebagaimana dicatat dalam Kejadian 1-2.
Kehadiran Allah dinyatakan kepada Adam dan
Hawa serta keturunannya, selanjutnya dinyatakan kepada umat-Nya dalam keturunan
Enos, berlanjut kepada Nuh dengan kehadiran-Nya yang menghakimi umat manusia
yang saat itu sudah bercampur baur dan jatuh dalam kejahatan sejak kecilnya,
semua dibinasakan dengan air bah. Hanya Nuh yang mendapat anugerah di mata
TUHAN. Kehadiran-Nya kemudian dinyatakan kepada keturunan Sem hingga puncaknya
kepada Abraham yang dari padanya lahir suatu bangsa, yakni umat Israel. Setelah
keluar dari tanah Mesir, di padang gurun Allah memerintahkan umat itu untuk
membangun Tabernakel. Setiap penyataan kehadiran ini tidak lepas dari kurban
(Kej. 3:21; 4:4; 8:21-22; Kel. 29:38-46 dst.).
Dalam masa pembuangan
Israel memahami hadir-Nya Allah di Bait Suci, tempat Nama TUHAN berdiam. Dan
Israel menjadikan Yerusalem di mana Bait Allah berdiri sebagai kiblat dalam
doa. Jika mereka bertobat, ada janji Allah mendengar doa itu dan akan membawa
mereka kembali dari pembuangan (1 Raj. 8:44-53). Pada masa zaman
intratestamental tidak ada satu penyataan kehadiran Allah atas umat-Nya dalam
bentuk Firman/Wahyu. Allah seperti berdiam diri namun ada janji hingga Ia
menyatakan kehadiran-Nya sebagai Malaikat Perjanjian yang dinanti-nanti – Tuhan
sendiri hadir di dalam bait-Nya demi keselamatan sisa Israel (Mal. 3:1). Masa
itu sesungguhnya adalah masa persiapan bagi kehadiran Imanuel, Mesias bagi
umat-Nya pada waktu dan saat yang telah Allah persiapkan (Gal. 4:4).
BAB III
PEMBAHASAN
Keselamatan Berdasar Kitab Efesus
Karya
keselamatan yang dilakukan Allah dalam hidup orang percaya yang tertulis dalam
kitab Efesus mencakup empat pokok pengajaran: memilih sebagai anak,
memeteraikan dengan Roh Kudus, menyelamatkan oleh iman dan perbuatan baik
sebagai tanda keselamatan berikut adalah penjelasannya
1. Dipilih
sebagai anak Allah (ef. 1:3-7) [12]
a.
Orang
percaya diberkati dengan segala berkat rohani di dalam sorga (Ef. 1:3)
Pemilihan orang percaya adalah untuk
menjadi berkat atau kemuliaan bagi Allah Bapa. Untuk mencapat hal ini Allah
telah memberkati orang percaya dengan segala berkat rohani di dalam sorga, yang
mana berkat ini diberikan di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus dan karena
berasal dari sorga maka sifatnya adalah sorgawi. Berkat apakah ini? Berkat ini
tidak lain adalah segala keuntungannya yang berharga yang terkandung di dalam
Pribadi Yesus Kristus sendiri. Adapun berkat-berkat ini adalah: pemilihan orang
percaya, predestinasi, penebusan dan pengampunan dosa, pengungkapan misteri
penebusan kepada orang percaya dan pemeteraian orang percaya. Berkat ini bersifat
rohani namun memiliki keuntungan yang mencakup segala aspek hidup orang
percaya. Berkat ini diberikan semata-mata oleh karena kemurahan Allah, bukan
atas dasar upah atas kebaikan manusia yang menerimanya.
b.
Orang
percaya dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan (Ef. 1:4)[13]
Pemilihan orang percaya sebagai anak
terjadi atas dasar kehendak Allah yang berdaulat sebelum dunia dijadikan
(Efesus 1:4), sesuai dengan kerelaan kehendak Allah, bukan atas perbuatan baik
yang telah atau akan dilakukan orang tersebut setelah dilahirkan kembali. Pemilihan
Allah atas orang percaya dapat dipahami bersifat individu maupun korporat.
Pemilihan individu adalah bagian dari pada pemilihan korporat, karena gereja
sebagai korporat terdiri dari individu-individu (yang dimaksudkan adalah gereja
sebagai tubuh Kristus, bukan institusi gereja). Allah memilih gereja Efesus
secara korporat dan tentunya gereja Efesus terdiri dari para individu yang
unik. Hal ini serupa dengan kejadian saat Tuhan Yesus memilih ke dua belas
rasul, yang menggunakan kata ganti orang kedua jamak kamu (Yoh 6:70). Namun
tentu Tuhan memilih mereka secara pribadi. Paulus juga dipanggil Allah secara
pribadi (Gal 1:15). Pemilihan Allah kepada umat-Nya ini merupakan kedaulatan
Allah untuk memilih dengan maksud tujuan Allah. Kata “supaya” di ayat empat
yang diambil dari kata εἶναιeinai berarti “kita menjadi”. Kata ini memiliki
pengertian “kita akan menjadi”, kata ini memiliki kasus present tense
infinitive mood of eimi yang berarti to be, exist dalam present tense yang
berbicara tentang keadaan selanjutnya. Dalam konteks Paulus mengatakan bahwa
semua orang percaya berada dalam posisi di hadapan Allah yang kudus karena
mereka semua ada di dalam Kristus. Kekudusan dan keadaan tidak bercela adalah
tujuan dari pemilihan seseorang sebagai anak Allah, bukan alasan kenapa
seseorang dipilih Allah menjadi anak. Dalam bagian lain di Alkitab hal ini
dikenal dengan frasa “menjadi serupa seperti Kristus”. Keadaaan tidak bercela
akan dicapai orang percaya saat ia mengalami kebangkitan orang mati, yaitu saat
Tuhan datang untuk yang kedua kalinya.
c.
Orang
percaya ditentukan oleh Allah dari semula untuk menjadi anak-Nya (Ef. 1:5)
Pengangkatan orang percaya menjadi anak
Allah disebut pengadopsian anak Allah.
Orang percaya disebut anak adopsi Allah karena sebelumnya mereka tidak
memiliki benih ilahi. Setelah lahir baru ia diberikan benih ilahi oleh Allah
yang tidak ia miliki sebelumnya. Orang tidak percaya hanya mewarisi benih dari
ayah jasmani. Orang percaya sebagai anak Allah memiliki benih ilahi, manusia
baru, ciptaan baru yang tidak dapat berbuat dosa (1 Yoh 3:9) dan memiliki
karakteristik seperti Bapa di sorga. Setelah diadopsi orang percaya menerima
otoritas dari Allah sehingga mampu memiliki sifat-sifat sejati anak Allah dan
memiliki harta warisan dari Allah (kerajaan Allah yang akan ia terima
sepenuhnya saat kedatangan Kristus yang kedua kali). Peristiwa atau tindakan
adopsi orang percaya menjadi Anak Allah terjadi sah secara hukum saat ia lahir
baru dengan menerima Roh Allah dalam dirinya. Adopsi didasari oleh kasih Allah,
sehingga orang percaya menjadi bagain dari keluarga Allah.[14]
Adopsi melingkupi tiga kurun waktu: waktu lampau sebelum dunia dijadikan pada
saat Allah menentukan orang percaya untuk menjadi anak-Nya, waktu sekarang
secara personal terjadi pada setiap orang percaya di saat ia lahir baru, dimasa
yang akan datang yaitu penggenapan penuh status keanakan saat kedatangan Yesus
yang kedua, dimana tubuh kita diubah dalam tubuh kemuliaan. Hasil dari adopsi
anak-anak Allah adalah yang terutama pembebasan dari hukum Taurat (Rom 8:15,
Gal 4:4) dan kemudian menerima jaminan atas warisan (Gal 4:6, Ef 1:11-14),
kemudian orang percaya akan hidup dipimpin oleh Roh Kudus dan semakin serupa
dengan gambar Kristus sampai suatu hari termanifestasi dengan penuh bahwa
dirinya adalah anak Allah (Rom 8:19).13Istilah anak adopsi juga berkaitan
dengan warisan Allah yang baru akan diterima orang percaya kelak di hari
kebangkitan. Penggenapan penuh status keanakan terjadi saat orang percaya
dibangkitkan dengan tubuh kemuliaan dan menerima secara penuh warisannya.
Warisan disini adalah kerajaan Allah itu sendiri.
d.
Orang
percaya ditebus dan diampuni dosanya oleh Allah (Ef. 1:7)
Kristus telah menebus, membebaskan dan
memerdekakan orang percaya dari kuasa dosa dan maut. Di dalam Yesus dan melalui
darah-Nya, orang percaya sekarang telah memiliki penebusan, yaitu pengampunan
pelanggaran-pelanggaran, menurut kekayaan anugerah Allah. Kata “dosa” kurang
tepat harusnya digunakan kata “pelanggaran”. Hal ini terjadi supaya terpujilah
kasih karunia Allah yang mulia yang dikuniakan Allah kepada orang percaya yang
dikasihi-Nya.
Penebusan menuntut tindakan Allah yang
seutuhnya, bukan perkara sepele atau yang mudah dikerjakan, sehingga korban
Kristus Anak Allah adalah bayaran penuh, mutlak dan final atas harga tebusan.
Ini adalah jalan satu-satunya tiada alternatif yang lain. Darah Yesus mencakup
beberapa hal penting yang dilakukan Allah pada orang percaya: penebusan, pembenaran,
pendamaian, penyucian dan pemulihan hubungan dengan Allah.[15]
Pengampunan Tuhan atas orang percaya
memiliki arti membebaskannya dari belenggu atau penjara dosa, membiarkannya
pergi seolah-olah tidak pernah melakukan dosa, memberikan remisi dari hukuman
yang harus ditanggung. Sebagai kelanjutannya kebenaran Allah diimpartasikan
kepada orang percaya.[16]
Boettner[17]
menyoroti tentang bagaimana korban Kristus dapat efektif bagi seluruh orang
yang ditebus. Bagaimana mungkin korban Kristus seorang cukup untuk menghapus
dosa jutaan orang dari berbagai zaman? Boettner menjelaskan bahwa sakitnya di
kayu salib bukanlah ekuivalen dengan kesakitan seluruh umat manusia, melainkan
Pribadi orang yang disalibkan inilah yang menjadikan korbannya efektif untuk
semua orang yang ditebus. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa korban Kristus
mutlak diperlukan, karena Allah tidak dapat mengampuni dosa begitu saja
berdasarkan keputusanNya yang berdaulat. 1 Yoh 2:2 dan Ibr 9:22 menegaskan
bahwa tanpa penumpahan darah tidak ada remisi. Salah satu karakter Allah adalah
adil. Keadilan-Nya mengharuskan menghukum orang yang melakukan dosa.
2. Dimateraikan
oleh Roh Kudus (Ef. 1:13-14)
a.
Roh
Kudus sebagai materai orang percaya[18]
Kata “meterai” diambil dari kata ἐσφραγίσθητε
esphragisthete yang berarti telah sungguhsungguh dimeteraikan, disegel,
ditandai menjadi milik Roh Kudus, menunjukkan bukti otentik bahwa orang
tersebut menjadi milik Allah, menunjuk kepada keadaan yang aman. Bentuk passive
menunjukkan bahwa Roh Kuduslah yang memetaraikan. Hal ini menunjukkan bahwa
kepastian meterai ini adalah dari pihak Roh Kudus bukan dari pihak manusia.
Memeterai dengan Roh Kudus adalah sepenuhnya tindakan Allah, manusia tidak
dapat bertindak memeterai dirinya sendiri dengan Roh Kudus.
Meterai Roh Kudus adalah Pribadi Roh Kudus
sendiri. Memeterai dengan Roh Kudus adalah sepenuhnya tindakan Allah, manusia
tidak dapat bertindak memeterai dirinya sendiri dengan Roh Kudus. Ini adalah
sepenuhnya karya supranatural Allah. Hal ini menunjukkan bahwa kepastian meterai
ini adalah dari pihak Roh Kudus bukan dari pihak manusia.
b.
Materai
Roh Kudus sebagai jaminan yang bersifat terus menerus sampai orang percaya
menerima seluruh warisan Allah saat kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali.
Meterai Roh Kudus adalah jaminan yang
bersifat terus-menerus sampai orang percaya menerima seluruh warisan Allah saat
kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali. Warisan ini adalah kerajaan Allah itu
sendiri (Yak 2:5).[19]
John Wesley memahami ini sebagai warisan kekal yang akan diterima oleh orang
percaya.[20]
Matthew Henry dan John Gill sependapat dengan hal ini. Orang yang telah
dimeterai dengan Roh Kudus adalah sah milik Allah. Roh Kudus menyertai orang
percaya selama hidup di bumi, sampai Allah kelak secara penuh memiliki orang
yang telah ditebusnya di hari kebangkitan (Ef 4:30).[21]
Hal ini akan menjadi puji-pujian dan kemuliaan bagi Allah.
Fungsi ini tentu sesuai dengan Roh Kudus
sebagai Penolong, parakletos παράκλητος. Allah oleh Pribadi Roh Kudus yang
tinggal dalam orang percaya memelihara dan memberi makan nourish dengan
(membantu untuk) menumbuhkan iman, buah Roh, senantiasa membawa kepada
pertobatan dari dosa-dosa yang dilakukan sampai kepada akhir perjalanan
imannya.
Tujuan Roh Kudus tinggal di dalam kita
adalah salah satunya untuk memimpin kita menjadikan semakin serupa dengan
Kristus, hal ini sinonim dengan pendewasaan, menghasilkan buah Roh dan
pengudusan sanctification. Smith menjelaskan bahwa ini berarti Roh Kudus
semakin memiliki orang percaya lebih banyak dan bukan sebaliknya orang percaya
memiliki lebih banyak Roh Kudus, dikontrol, dikuasai dipimpin oleh Roh Kudus.[22]
Owen menjelaskan bahwa Roh Kudus sebagai meterai juga terkait dengan kuasa
ilahi yang akan bekerja di dalam dan membantu orang percaya untuk memenuhi
panggilan kudus.[23]
Orang percaya masuk ke kerajaan Allah, lingkungan baru, mulai berhubungan
dengan saudara seiman, malaikat, Allah Bapa dan juga Tuhan Yesus, juga akan
mendapat tugas baru dan memiliki nilai-nilai yang baru.
3. Diselamatkan
oleh Iman
a.
Orang
percaya telah dihidupkan oleh Allah bersama dengan Kristus (Ef. 2:5)
Ayat lima berkaitan erat dengan ayat
empat dan enam, sehingga tindakan Allah yang menghidupkan orang percaya
didasari oleh belaskasihan dan kasih-Nya, tidak hanya telah menghidupkan, namun
juga telah membangkitkan dan telah memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di
sorga.
Mati rohani adalah benar-benar mati,
terpisah dari Allah Sumber Kehidupan. Sama seperti Kristus hidup, demikian juga
orang percaya kini telah dihidupkan bersama-sama dengan Dia. Orang percaya saat
ini sudah memiliki hidup kekal, bukan nanti waktu meninggal dan masuk ke sorga.
Sudah memiliki hidup kekal sekarang adalah hal yang memungkinkan dan benar
adanya karena Allah lah yang mengerjakan, Allah lah yang memberikan. Karya ini
telah Tuhan Yesus tuntaskan di kayu salib dan kebangkitan-Nya.
b.
Orang
percaya telah dibangkitkan oleh Allah dan diberi tempat di Sorga (Ef. 2:6)
Ayat enam terkait dengan ayat lima dan
tujuh, di mana orang percaya pertama telah dihidupkan, kemudian telah
dibangkitkan, kemudian telah didudukan bersama dengan Kristus di sorga di dalam
Kristus, kemudian dimasa yang akan datang benar-benar akan Ia menyatakan
kekayaan kasih karunia-Nya. Orang percaya kini telah dibangkitkan. Sekalipun
ini belum terjadi secara harafiah, namun orang percaya memiliki kepastiannya
sekarang. Kepastian ini terjamin karena Tuhan yang memberikannya. Bahkan kata
“membangkitkan bersama” memiliki aerti bahwa jika Kristus sudah bangkit, maka
tentu orang percaya juga sudah bangkit. Kol 2:12 juga meneguhkan kenyataan
bahwa kita sudah dibangkitkan.
Kata “membangkitkan bersama” sunegeiro[24]
ditulis dalam tensis aorist dan mood
indicative. Jadi sudah benar-benar dibangkitkan, yaitu saat menjadi percaya
dan itu tentu dibangkitkan bersama dengan Kristus. Ini fakta menarik, jadi jika
Kristus sudah bangkit, maka tentu orang percaya juga sudah bangkit. Benson
memahami ini dengan menyatakan bahwa dibangkitkan bersama Kristus terjadi
sebagai bentuk kesatuan orang percaya dengan Kristus (di dalam Kristus). Namun
bukankah kenyataannya kebangkitan baru terjadi nanti disaat kedatangan Kristus
yang kedua kali? Itulah gaya bahasa Yunani. Apa yang bersifat masa yang akan
datang namun ditulis dalam bentuk lampau, memiliki arti bahwa hal itu pasti
terjadi. Hal ini juga tekait dengan KJVEph 2:7: “That in the ages to come he might shew the exceeding riches of his
grace in his kindness toward us through Christ Jesus.” Kepastian
kebangkitan sudah diterima oleh orang percaya sekarang, namun kenyataan
sepenuhnya belum dapat diterima sekarang, karena dunia berdosa di zaman
sekarang tidak memungkinkan untuk menerima atau berdampingan secara penuh
dengan kerajaan Allah yang kudus dan mulia. Jadi penggenapan final janji Allah
baru dapat terjadi jika yang lama disingkirkan dan zaman yang baru dimulai.
Orang percaya kini telah memiliki tempat
di sorga. Sekalipun ini belum terjadi secara harafiah, namun orang percaya memiliki
kepastiannya sekarang. Kepastian ini terjamin karena Tuhan yang
memberikannya.Bell dan Constable memahami ini belum dalam arti fisik namun baru
dalam arti spiritual.[25]
Constable selanjutnya mengaitkan tempat di sorga dengan kewarganegaraan orang
percaya yang tidak lagi di bumi.[26]
Coke mengaitkan kenyataan ini dengan fakta bahwa Tuhan Yesus adalah Yang Sulung
dan orang percaya adalah adik-adik (saudara-saudara)–Nya. Jadi sekali lagi apa
yang dialami oleh yang sulung akan dialami juga oleh saudara-saudara-Nya.[27]
c.
Orang
percaya telah diselamatkan karena kasih karunia oleh iman (Ef. 2:8-9)
Kasih karunia Allah adalah alasan dari
tindakan penyelamatan manusia yang dilakukan Allah. Sedangkan iman adalah
sarana, saluran yang melaluinya keselamatan sampai kepada orang percaya. Jadi
iman adalah sarana keselamatan bukan penyebab keselamatan. Keselamatan secara
mutlak mengecualikan usaha manusia, baik itu perbuatan baik sebelum dan sesudah
kelahiran kembali, ini murni pemberian Allah semata. Keselamatan ada di luar kemampuan
manusia, sehingga harus diberikan oleh Allah secara cuma-cuma.
Frasa τοῦτο οὐκ ἐξ ὑμῶνtouto oux ex umen
menunjuk bukan dari diri manusia sendiri tetapi merupakan karunia dari Tuhan.
Di sini Paulus menjawab argumen begitu banyak orang yang terus berpikir bahwa
keselamatan adalah tanggapan Allah terhadap kebaikan (sesuatu) di dalam diri
manusia. Penjelasan di atas dipertegas dengan frase οὐκ ἐξ ἔργωνouk ek ergon
“itu bukan hasil usahamu”. Secara harafiah berarti “benar-benar tidak keluar
dari diri kamu”. Benjamin B. Warfield menjelaskan bahwa Tuhan menyelamatkan
manusia oleh kasih karunia. Keselamatan adalah murni kasih karunia Allah. Ia
menjelaskan ada tiga hal pokok yang terkait dengan kata “kasih karunia” grace ini. Yang pertama kasih karunia
adalah kuasa power. Hanya kuasa ilahi yang sanggup menyelamatkan atau
menghidupkan orang yang telah mati, yaitu mati karena dosa. Oleh sebab itu
kasih karunia adalah kuasa. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa hukum Taurat
tidak dapat menyelamatkan sekalipun ia kudus. Hukum hanya memiliki fungsi
memberitahu manusia apa-apa yang harus ia lakukan, namun manusia yang telah
mati tidak dapat diperintah apapun. Kasih karunia juga adalah kasih love.[28]
4. Perbuatan
baik sebagai tanda keselamatan (ef. 2:10; 4:24)
a.
Orang
percaya diciptakan oleh Allah untuk perbuatan baik (Ef. 2:10)
Frasa “karena kita ini buatan Allah,
diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, ”Dalam Ef 2:10
memiliki arti bahwa seseorang mutlak perlu dicipta ulang dalam Kristus (lahir baru)
agar dapat melakukan perbuatan/pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sejak
kekekalan.
Penciptaan ulang ini benar-benar
menanamkan yang baru, yang dahulu tidak dimiliki, yang bersifat supranatural
yaitu benih ilahi.[29]
Hal ini dapat terjadi karena orang yang dilahirkan kembali diberi benih ilahi
yang memampukannya mejalankan perbuatan/pekerjaan baik tersebut. Pekerjaan baik
adalah tujuan dari seseorang dicipta di dalam Kristus Yesus, bukan sebaliknya
dasar dari penciptaan di dalam Kristus.
Kata “buatan” dalam teks ini memakai
kata poiema yang berarti sesuatu yang
dikomposisikan atau dikonstruksi, sebuah karya seni. Ini adalah karya agung
Allah. Perbuatan baik ini benar-benar baik menurut standar Allah, yaitu
kehidupan yang benar dan kudus, penuh ketaatan kepada Bapa. Allah ingin orang
percaya bertumbuh di dalamnya.
Jelas sekali bahwa perbuatan atau
pekerjaan baik di Efesus 2:10 ini bukanlah syarat dari keselamatan, karena
keselamatan harus diberikan di awal agar orang yang sudah diselamatkan dapat melakukan
perbuatan baik yang Allah inginkan. Pink menjelaskan bahwa orang yang dicipta
dalam Kristus memiliki iman yang personal kepada Tuhan, pertobatan yang sejati
dari dosa, kasih yang sejati kepada Allah, kasih kepada saudara seiman,
kemampuan melakukan kebenaran dalam keseharian, bertumbuh dalam kasih karunia
dan dapat bertahan sampai akhir.[30]
BB Warfiled berpendapat bahwa perbuatan baik (perbuatan iman) adalah gaya hidup
baru dari orang yang sudah diselamatkan sebagai tanda bahwa ia adalah seorang
pengikut Kristus yang hidup sepadan dengan panggilan itu.[31]
Charles Hodge mempercayai bahwa orang percaya diciptakan untuk (tujuan)
perbuatan baik, untuk (tujuan) kekudusan, jadi perbuatan baik dan kekudusan
tidak dapat menjadi dasar dari keselamatan.[32]
b.
Allah
mempersiapkan perbuatan baik tersebut sejak kekekalan (Ef. 2:10)
Allah mempersiapkan perbuatan/pekerjaan
baik bagi tiap-tiap orang percaya sejak kekekalan. Perbuatan/pekerjaan baik ini
bertujuan untuk memulihkan tujuan penciptaan, yaitu kehidupan yang memuliakan Allah.
Allah menginginkan orang percaya menghidupinya setiap hari dan makin lama makin
berkembang. Perbuatan/pekerjaan baik ini jelas bukan syarat keselamatan,
melainkan hasil atau buah dari keselamatan.
BB Warfiled berpendapat bahwa perbuatan
baik (perbuatan iman) adalah gaya hidup baru dari orang yang sudah diselamatkan
sebagai tanda bahwa ia adalah seorang pengikut Kristus yang hidup sepadan
dengan panggilan itu.[33]
Charles Hodge mempercayai bahwa orang percaya diciptakan untuk (tujuan)
perbuatan baik, untuk (tujuan) kekudusan, jadi perbuatan baik dan kekudusan
tidak dapat menjadi dasar dari keselamatan.[34]
c.
Orang
percaya diciptakan Allah dalam kebenaran dan kekudusan agar dapat menggenapi
perbuatan tersebut (Ef. 4:24)
Saat kelahiran kembali orang percaya diciptakan
dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya, yang memenuhi standar Allah. Efesus
4:24 dapat diartikan secara keseluruhan bahwa orang percaya yang sudah
diciptakan dari Allah ini harus mempraktekan kebenaran dan kekudusan yang
sesuai dengan karakteristik Allah ini, sehingga ia menjadi nampak mengenakan
kebenaran dan kekudusan tersebut sebagai karakter manusia baru. Juga karena
telah diciptakan dalam kebenaran dan kekudusan, orang percaya pasti dapat
mencapai maksud dan tujuan Allah dalam hidupnya, yaitu melakukan
perbuatan/pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sejak kekekalan.
Hal ini nyata dalam kehidupan
sehari-hari, termanifestasi dalam bentuk integritas, nilai-nilai yang agung,
kemurnian hidup, pola pikir, pola rasa dan pola tindak yang benar, sehingga
dapat dikatakan bahwa ia mengenakan manusia baru yang memiliki karakteristik
benar dan kudus. Juga karena telah diciptakan dalam kebenaran dan kekudusan,
orang percaya pasti dapat mencapai maksud dan tujuan Allah dalam hidupnya,
yaitu melakukan perbuatan/pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sejak
kekekalan. Adolf Schlatter menambahkan selain natur yang baru, Tuhan juga
menempatkan Roh Kudus dalam hidup orang percaya sehingga pembaharuan dapat
terjadi dari dalam batin orang percaya dan berdampak keluar.[35]
BAB IV
PENUTUP
Impelemtasi Pengajaran Tabernakel
Pengajaran
Tabernakel sangat berkontribusi dalam memberikan pemahaman dasar tentang
rencana Allah dalam keselamatan umatNya. Allah begitu menyayangi umatNya
sehingga Ia rela berdiam diri ditengah – tengah umatNya, supaya umatNya
mendapatkan keselamatan oleh karena kehadiran Allah di Tabernakel. Tabernakel
merupakan sebuah lambing atau gambaran Yesus Kristus ketika berada di bumi.
Demikian juga Yesus ketika menjadi manusia ia berdiam di tengah – tengah
umatNya. Makna teologis Tabernakel bagi orang Kristen di zaman sekarang
sangatah penting, dalam arti bahwa korban penebusan Yesus hanya dapat dipahami
sepenuhnya dalam konteks system melakukan persembahan korban di Bait Allah
seperti yang diuraikan dalam Kitab Ibrani. Kesan paling jelas dan berkesan
tentang Bait Allah yang dialami dalam kekristenan berkaitan dengan kurban
penebusan Yesus, yang membentuk dasar dari perumpamaan Yesus sebagai anak
sulung tanpa cela yang dikurbankan, sekali dan untuk selamanya, untuk menebus
dosa umatNya.
Kelebihan/Kekurangan
Pengajaran Tabernakel ini
menceritakan kehadiran Allah dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru,
bahkan pengajaran ini juga di jelaskan secara terperinci di dalam Alkitab. Pemahaman
Tabernakel memiliki makna yang relevan bagi masa kini dan nanti, sebab Allah
telah mengutus Anak-Nya untuk berdiam di tengah-tengah umat-Nya. Tidak hanya
itu, ketika kedatangan Kristus yang kedua kali, Tabernakel juga menjadi suatu
bayangan akan kehidupan yang akan datang. Juga banyak orang yang terbekati
melalui pengajaran Tabernakel yang terlihat dari perkembangan pengajaran itu
sendiri. Hal ini dikarenakan pengajaran ini tidak hanya diterima oleh
sekelompok orang saja dalam kalangan tertentu namun bagi semua orang percaya
sebab Alkitab sendiri yang mengajarkannya.
Meskipun
pengajaran Tabernakel secara umum diterima oleh banyak orang, tetapi masih ada
juga yang menolaknya, secara khusu pengajaran Tabernakel yang di motori oleh
Van Gessel. Hal ini dikarenakan pengajaran Tabernakel yang di motori oleh Van
Gessel bersumber dari pengilhaman yang diterimanya. Bahkan dalam hal pentipologian
prabotan dengan Kristus, yang mana hal ini di anggap alegoris oleh beberapa
orang. Maka itu sebenarnya penting untuk menjelaskan maksud dari pengajaran
Tabernakel yang di motori oleh Van Gessel secara jelas dan terperinci.
Kesimpulan
Tindakan kehadiran Allah bagi umat perjanjian-Nya
dalam Tabernakel berada dalam konteks rencana keselamatan atas umat pilihan-Nya
yang telah ditempatkan-Nya di hadapan-Nya supaya mereka hidup bagi Dia dalam
ikatan perjanjian dalam ketundukan kepada pemerintahan-Nya (Theokrasi).
Perjanjian itu mengikat bahwa Tuhan menjadi Allah atas umat-Nya yakni umat yang
mau taat dengan hidup di dalam keadilan dan kebenaran, bahkan dalam kekudusan –
sebagai umat yang dkuhususkan bagi Allah.
Kehadiran
ini sudah dinyatakan dalam Perjanjian Lama sejak taman Eden, tetapi dosa telah merusak
tatanan yang sangat ideal ini. Kerusakan itu adalah pada sisi manusia, yang
tidak memiliki kemampuan lagi menanggapi kehadiran Allah. Tetapi kehadiran
Allah tidaklah dapat dibatasi oleh dosa – sekalipun itu bertentangan dengan
karaktek Allah yang kudus. Ketika Dia hadir dalam kedaulatan-Nya, maka pada-Nya
ada penghakiman sekaligus belaskasihan.
Pada
umat Israel kehadiran-Nya dinyatakan-Nya sebagai kehadiran (berdiam) “di antara
kita”, (Kel. 25:8; 29:45) hingga pada umat Perjanjian Baru suatu kehadiran
(berdiam) “di dalam kita” oleh Roh Kudus (Yoh. 14:16-17), dan pada akhirnya (di
Yerusalem Baru) kehadiran Allah dinyatakan “Ia akan diam bersama-sama dengan
umat-Nya” (Why. 21:3). Konsep tentang pemikiran kehadiran Allah diam “di antara
kita”, “di dalam kita”, dan “bersama dengan kita” membawa pada pemahaman bahwa
umat itu senantiasa ditempatkan “di hadapan Allah” di mana “segala sesuatu
terbuka (tidak ada yang tersembunyi) di mata Tuhan.
Dalam
arti positif dengan kehadiran Allah (hidup di hadapan-Nya) umat itu hidup “bagi
Allah” sebagai umat yang kudus. Dengan demikian mengandung juga unsur “ibadah,
pengabdian” (Kemah Suci sendiri dibangun adalah bagi-Ku (bagi Allah)” (Kel.
25:8) karena Dia adalah Allah, maka segala sesuatu telah diciptakan bagi Dia dan
oleh Dia saja (Ibr. 2:10). Selanjutnya adalah unsur penghakiman (Yes. 3:13-15).
Konsep-konsep ini terjalin dalam suatu kesatuan seperti dalam Mazmur 139. Hal
itu jugalah yang terjadi di Taman Eden setelah kejatuhan manusia pertama,
ketika Allah menyatakan kehadiran-Nya, maka Iblis dihukumnya tetapi manusia
mendapatkan belaskasih-Nya. Kemudian kehadiran itu dinyatakan dalam Tabernakel
dan dalam Bait Allah dengan kemuliaan Shekinah, selanjutnya di dalam Perjanjian
Baru dalam inkarnasi Kristus dan berdiamnya Roh Kudus di dalam Gereja, hingga
pada akhirnya nanti pada akhir zaman (eschaton).
Kehadiran
Allah dalam Tabernakel bukan berarti mengurangi makna kemahahadiran-Nya, tetapi
inilah kehendak-Nya untuk bersekutu, menyertai umat-Nya dan tinggal di tengah-tengah
umat-Nya dan menyatakan (mengkomunikasikan) segala maksud dan rencana-Nya
melalui Firman-Nya. Setiap kali kehadiran itu dinyatakan kepada umat-Nya,
selalu kemuliaan Allah menyertai, sampai dalam zaman Gereja, sehingga
perjalanan iman orang percaya adalah perjalanan yang sangat berharga,
perjalanan dari kemuliaan kepada kemuliaan (2 Kor. 4:18)
DAFTAR PUSTAKA
Barclay,
William. 2012. Pemahaman Alkitab Setiap
Hari. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Bingham,
Geoffery C. ___. Ephesians a Commentary. Blackwood:
New Creation Publication.
Brakel,
Wilhelmus. 1999. The Christian’s
Reasonable Service, vol 2. D. Bolle, Rotterdam: The Netherlands.
Calvin,
Jhon. 1999. A Commentary on Galatians and
Ephesians (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal Library.
Carlson, G. Raymon. 2019. Surat Roma. Malang: Gandum Mas.
Caroll, B. H. 1948. An Interpretation of The English Bible, Vol
15 Collosians, Ephisians, Hebrew. Michigan: Baker Book House.
Flavel, Jhon. 1982. The Method of Grace in The Gospel
Redemprion. Pennsylavania: The Banner of Truth Trust.
Grundem, Wayne. 1994. Systematic Theology. Michigan:
Zondervan.
H,
Berkhof and Enklaar. 2009. Sejarah
Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jongge,
Christiaan de. 2007. Apa Itu Calvinisme. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
McGrath,
Alister E. 2007. Sejarah Pemikiran
Reformasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Merrill,
Eugene H. 2005. Teologi Alkitab
Perjanjian Baru. Malang: Gandum Mas.
Ryrie, Charles C. __. Teologi
Dasar 2. Yogyakarta: Andi.
Schlatter, Adolf. 1965. Die Briefe An Die Galater, Epfeser, Kolosser
und Philemon. Stuttgart: Calwer Verlag,
Soetopo, Gersom. 2003. Tabernakel. Jawa Timur: STT Lawang.
Wesley’s, Jhon. 2010. Explanatory Notes. E Sword. [CD-ROM]
(Franklin, TN: E Sword 9.6.0.
Williamson, G. I. 2017. Pengakuan Iman Westminser: Untuk Kelas
Penelaah. Surabaya: Momentum.
Warren
Doud, “A Grace Notes Bible Study, The
Epistle to The Ephesians,” Aggie Lane Austin Texas, diakses 05.06.2018, http://www.monergism.com
Turrettin,
“Atonement of Christ,” Excerpts from
Turrettin’s Elentric Theology, diakses 21.06.2021, http://archive.org/details/turrettinonatone00turr
Loraine
Boettner, “The Atonement,” e book, diakses 21.06.2021, http://www.monergism.com.
Chuck
Smith, “The Person and Gifts of the Holy
Spirit,” The Blue Letter Bible Institute, diakses 21.06.2021, www.bluelettterbible.org.
JohnOwen,“On The Holy Spirit (Pneumatologia), Part
2, from The Work of John Owen Volume 3, Chapter VI, The Spirit is a Seal and How,”
diakses 22 Juni 2021,
Warfield,
Benjamin B. “Election.” Diakses 23 Juli 2021. http://www.pdf-drive.net.
A.W.
Pink, “Doctrine of The New Birth,” diakses 23.06.2021, http://www.chapellibrary.org
A.W.
Pink, “Doctrine of The New Birth,”
diakses 25.06.2021, http://www.chapellibrary.org.
BB
Warfield, “The Person and Work of The
Holy Spirit,” diakses 26 Juni 2021, http://www.monergism.com
BB
Warfield, “The Person and Work of The
Holy Spirit,” diakses 26 Juni 2021, http://www.monergism.com
BB
Warfield, “The Person and Work of The
Holy Spirit,” diakses 27 Juni 2021, http://www.monergism.com
Charles
Hodge,A Commentary on The Epistle to The
Ephesians (New York: Robert Charter&Brothers, 1860), 64.
[1] Inisiasi merupakan sebuah ritual yang dilakukan sebagai ucapan syukur
semenjak bayi yang ada di kandungan, lahir, pubertasi, penikahan hingga
kematian. William Barclay, Pemahaman
Alkitab Setiap Hari: Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), Hal.
33.
[2] Charles C. Ryrie, Teologi Dasar
2, (Yogyakarta: Andi, tt), hal. 16.
[3] Eugene H. Merrill, A Biblical Theology of The Old Testament –
Teologi Alkitabiah Perjanjian Lama. Editor: Roy B Zuck, Editor Penasihat: Eugene
H. Merrill (Malang-Jawa Timur: Gandum Mas, 2005), 97.
[4]Berkhof. H and Enklaar. H. I, Sejarah
Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 57.
[5]Ibid,58.
[6]Alister E. McGrath, Sejarah
Pemikiran Reformasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 4.
[7]Christiaan de Jongge, Apa itu Calvinisme (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2007), 74.
[8]G. Raymon Carlson, Surat Roma. (Malang:
Gandum Mas, 2019), 1.
[9]G. I Williamson, Pengakuan Iman
Westminster:Untuk Kelas Penelaahan (Surabaya: Momentum, 2017), 156).
[10] Gersom Soetopo, Tabernakel (Jawa Timur: STT Lawang, 2003
[11] F.G. van Gessel, The Tabernakel, BTI Holland
[12] Jhon Flavel, The Method of Grace
in The Gospel Redemprion (Pennsylavania: The Banner of Truth Trust, 1982),
16.
[13] B. H. Caroll. An Interpretation
of The English Bible, Vol 15 Collosians, Ephisians, Hebrew (Michigan: Baker
Book House, 1948), 83.
[14] Wayne Grudem, Systematic
Theology (Michigan: Zondervan, 1994), 736.
[15] Warren Doud, “A Grace Notes
Bible Study, The Epistle to The Ephesians,” Aggie Lane Austin Texas,
diakses 05.06.2018, http://www.monergism.com.
[16] 5Turrettin, “Atonement of
Christ,” Excerpts from Turrettin’s Elentric Theology, diakses 21.06.2021, http://archive.org/details/turrettinonatone00turr.
[17] Loraine Boettner, “The Atonement,” e book, diakses 21.06.2021, http://www.monergism.com.
[18] Geoffrey C. Bingham, Ephesians a
Commentary (Blackwood: New Creation Publication,
tt), 18
[19] Wilhelmus Brakel, The Christian’s
Reasonable Service, vol 2 (D. Bolle, Rotterdam: The Netherlands, 1999),
415-438.
[20] John Wesley’s, Explanatory
Notes. E Sword. [CD-ROM] (Franklin, TN: E Sword 9.6.0,
2010).
[21] John Calvin. A Commentary on
Galatians and Ephesians (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethereal
Library, 1999), 128.
[22] Chuck Smith, “The Person and
Gifts of the Holy Spirit,” The Blue Letter Bible Institute, diakses 21.06.2021,
www.bluelettterbible.org.
[23] JohnOwen,“On The Holy Spirit
(Pneumatologia), Part 2, from The Work of John Owen Volume 3, Chapter VI, The
Spirit is a Seal and How,” diakses 22 Juni 2021,
[24] 34891συνεγείρω sunegeiro
{soon-eg-i'-ro} Meaning: 1) to raise together, to cause to raise
together 2) to raise up together from mortal death to a new and blessed life
dedicated to God συνήγειρεν verb
indicative aorist active 3rd person singular from συνεγείρω
[25] 4Brian Bell, “Commentary on the
bible,” diakses 22.06.2021, https://www.studylight.org/commentaries/rbc/ephesians-2.html.
[26] Thomas Constable, “Bible Commentaries, Expository notes of Dr. Thomas
Constable,” diakses 23.06.2021, https://www.studylight.org/commentaries/rbc/ephesians-2.html.
[27] Thomas Coke, “Commentary on the Holy Bible, Ephesians,“ diakses
23.06.2021, https://www.studylight.org/commentaries/rbc/ephesians-2.html.
[28] Warfield, Benjamin B. “Election.” Diakses 23 Juli 2021. http://www.pdf-drive.net.
[29] A.W. Pink, “Doctrine of The New Birth,” diakses 23.06.2021, http://www.chapellibrary.org
[30] A.W. Pink, “Doctrine of The New
Birth,” diakses 25.06.2021, http://www.chapellibrary.org.
[31] BB Warfield, “The Person and
Work of The Holy Spirit,” diakses 26 Juni 2021, http://www.monergism.com
[32] BB Warfield, “The Person and
Work of The Holy Spirit,” diakses 26 Juni 2021, http://www.monergism.com
[33] BB Warfield, “The Person and
Work of The Holy Spirit,” diakses 27 Juni 2021, http://www.monergism.com
[34] Charles Hodge,A Commentary on
The Epistle to The Ephesians (New York: Robert Charter&Brothers, 1860),
64.
[35] Adolf Schlatter, Die Briefe An
Die Galater, Epfeser, Kolosser und Philemon (Stuttgart: Calwer Verlag,
1965), 220.
0 Comments