TEOLOGI KONTEMPORER
Semakin berkembangnya rasio manusia, Alkitab bukanlah
satu-satunya menjadi sumber kebenaran. Sebab mereka menganggap bahwa ketika
memiliki rasio, akal budi dan pengetahuan yang memampukan untuk menjawab segala
persoalan, manusia tidak perlu bergantung pada Alkitab sebagai wahyu Allah. Penulis
buku ini menjelaskan beberapa usaha yang dilakukan oleh para teolog dan filsuf
untuk menyelamatkan otoritas dari pewahyuan Allah. Tetapi usaha tersebut tidak
membuat kekristenan menampilkan jati diri utamanya sebagai agama yang
mengandalkan pewahyuan Allah namun malah dibawa semakin jauh dan menyimpang
dari sumber utama dan otoritas pewahyuan Alkitab. Immanuel Kant merupakan tokoh
yang mempengaruhi pemikiran banyak orang pada abad ke-18, seorang filsafat dari
zaman Pencerahan, yang menekankan bahwa rasio adalah otoritas teritnggi dan
menjadi patokan dalam menentukan suatu kebenaran. Kant berpikir bahwa
konsep-konsep tentang pewahyuan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Alkitab
harus diganti dengan rasio manusia. Pada saat itu, muncul metode penyelidikan
Alkitab yang disebut dengan kritik historis. Dalam metode ini, Alkitab
diperlakukan sama dengan seperti dokumen lain di masa lalu. Jika hal ini
berlaku bagi Alkitab, maka tentu Alkitab tidak terlepas dari
kesalahan-kesalahan. Dengan demikian, pada abad Pencerahan pandangan tersebut
menolak doktrin ineransi.
Kemudian munculah pada tahun 1919 yang dimotori oleh
Karl Barth, seorang pendeta gereja kecil di Swiss. Barth menafsirkan suatu
pandangan baru tentang wahyu,yang masih dominan dewasa ini. Berlawanan dengan
liberalism sebelumnya, ia menekankan bahwa manusia memerlukan wahyu. Dengan
demikian ia berpikir bahwa istilah yang tepat untuk digunakan yaitu “teologia
firman Allah” untuk ide-ide barunya. Tetapi dalam tekanannya pada pernyataan
itu, ia sangat berhati-hati membedakan Alkitab dari identifikasi mutlak dengan
firman Allah.
Menurut Barth, seseorang bisa saja membaca Alkitab
tanpa mendengar firman Allah. Alkitab hanyalah suatu “tanda atau simbol,”
tetapi paling tidak merupakan simbol dan melalui simbol tersebut firman itu
datang kepada kita. Hubungan antara Allah dengan Alkitab tetap nyata, tetapi
tidak langsung. Menurut Barth: Alkitab adalah firman Allah sejauh Allah
berbicara melaluinya…Alkitab dengan demikian menjadi firman Allah di dalam
peristiwa ini… Sebelum menjadi nyata bagi kita, sebelum terpancar di dalam
kehidupan kita, sebelum berbicara kepada kita dalam situasi eksitensial, maka
Alkitab bukanlah firman Allah. Sebab itu, menurut Barth, Allah merupakan suatu
catatan pernyataan masa lalu, dan janji untuk pernyataan mendatang.
Menariknya dari Karl Barth adalah sekalipun ia pernah belajar di bawah bimbingan para teolog
liberal ternama, seperti Hannacl dan Hermann, namun pandangan teologi yang
dianutnya berseberangan dengan pandangan teologi yang diyakini gurunya
tersebut. Ia memberontak terhadap paham liberalisme. Walaupun sedikit atau
banyak pandangan Barth merupakan pemberontakan terhadap liberalism klasik,
namun Van Til sangat tepat menamakan pandangan Barth sebagai “Modernisme baru”
Barth tetap mendukung pandangan liberal yang kritis terhadap Alkitab. Ia
menolak ketidakbersalahan Alkitab. Bahkan ia menyatakan bahwa seluruh Alkitab
merupakan dokumen manusia yang dapat keliru.
Kemudian yang berikutnya ada seorang tokoh bernama
Rudolf Bultmann, ia mengkritik tulisan-tulisan Alkitab dengan metode kritik
yang digunakan. Bultman teolog abad ke-20 mempopulerkan idenya mengenai
“demitologisasi” ia memperkenalkannya pada tahun 1941. Idenya Bultmann sangat
berpengaruh di dunia Eropa, meskipun dalam beberapa hal teolog-teolog Jerman
seakan-akan tidak tertarik pada konsep yang dipopulerkan oleh Bultmann
sebelumnya, sedangkan di Amerika dan di Asia idenya diterima dengan baik karena
ada rasa ketertarikan, sehingga semakin meluas.
Demitologisasi[1]
merupakan bagian penting dalam teologinya yang masih diperdebatkan sampai saat
ini. Salah satu ide yang dipopulerkan
oleh Bultmann yaitu mengenai mitos. Ia menganggap bahwa pribadi Yesus yang ada
dalam sejarah diubah menjadi cerita mitos dalam kekristenan yang mula-mula,
bahkan pandangannya mengenai sejarah Yesus yang mitos tidak cocok lagi untuk
manusia abad ke-20. Mereka menganggap rumah sakit lebih penting daripada
mujizat, penisilin dan bukan doa. Dengan demikian Bultmann berpikir bahwa cara
demitologisasi merupakan cara yang efektif dalam mengkomunikasikan Injil kepada
manusia modern.
Selanjutnya masih berkaitan dengan abad ke-20 yaitu
tokoh bernama Oscar Cullmann (1902), yang merupakan seorang sarjana Perjanjian
baru dari Swis. Ia merupakan seorang penulis buku hebat diantara 6 buku
terpenting dalam beberapa dasawarsa terakhir, hal ini diakui oleh seorang
teolog Inggris. Ia menentang apa yang
diungkapkan oleh Bultmann terkait dengan mitos, tetapi anehnya adalah bahwa
Oscar Cullmann ini memberi informasi kepada pembaca bahwa Alkitab bukanlah
landasan dasar bagi agama Kristen bahkan ia tidak mengakui infabilitas[2]
Alkitab.
Pada pembahasan selanjutnya, Penulis buku ini
menjelaskan konsep pemikiran yang sangat berpengaruh pada abad ke-20, seperti
Teologia sekularisme. Penulis memberi informasi kepada pembaca bahwa konsep
teologi sekularisme yaitu dimana isinya bukan lagi memanggil orang berdosa
untuk bertobat dan beriman kepada Kristus tetapi ironisnya penginjilan dianggap
sebagai aktifitas politik dan sosial dikalangan orang miskin. Fatalnya ita
menolak kerajaan supranatural yang akan muncul pada kedatangan Kristus yang
kedua kali. Tentu ini adalah penolakan terhadap kesaksian Alkitab, yang harus
ditolak bagi orang Kristen saat ini.
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai etika situasi
atau moralitas baru yang berakar dari prinsip-prinsip etis orang-orang seperti
Barth, Bultmann dan Tillich dengan prinsip-prinsip teologis yang lebih kearah
eksitensial daripada kesalehan. Penulis memberi informasi kepada pembaca bahwa
adanya kemerosotan standar-standar etika yang didasarkan pada Alkitab. Alkitab
bukanlah suatu patokan untuk mereka hidup tetapi situasilah yang menjadi sumber
kebenaran utama dalam kehidupan, sehigga mereka dapat mengatakan bahwa suatu
perbuatan dapat dikatakan salah bukan karena prinsip tapi karena situasi. Dalam
ajaran etika Kristen menjelaskan bahwa tujuan tidak membenarkan cara, tetapi
bagi etika situasi sebaliknya bahwa hanya tujuan yang membenarkan cara.
Selanjutnya berkaitan dengan munculnya Atheisme yang
membuat banyak orang manjadi takut akan kepercayaan yang mereka miliki akibat
pandangan bahwa “Allah mati”, penulis memberi informasi mengenai munculnya
Teologi Penghrapan yang dipopulerkan oleh Jurgen Moltmann lewat bukunya, “The Theology of Hope”. Menurutnya Allah
bukanlah sepenuhnya Allah karena Allah adalah satu bagian dari waktu yang
mendesak maju ke masa yang akan datang. Dalam arti lain, Allah akan menjadi
Allah jika DIA memenuhi janji-janji-Nya. Moltmann juga menekankan eskatologis
orang Kristen bukanlah pada kedatangan Kristus yang kedua kalinya melainkan
keterbukaan kepada masa yang akan datang, suatu kebebasan di masa yang akan
datang. Masa mendatang adalah suatu hal
yang tidak dikenal baik oleh Allah dan manusia. Tentu ini menentang ajaran
Alkitab (1 Kor. 15:23; Kis. 14:2) bahwa kematian dan kebangkitan Kristus adalah
jaminan Allah akan kebangkitan yang akan datang, permulaan daripada kebangkitan
akhir, yaitu sebuah fakta sejarah yang memberi makna pada masa depan kita.
Berikutnya dalam bab ini, penulis menjelaskan
teologi sejarah yang berkembang pada akhir tahun 1950, biasanya teologi ini
disebut juga dengan teologi kebangkitan. Pannenberg adalah seorang teolog
Jerman yang banyak memberi sumbangsih terhadap pembahasan ini. Ia menerima
konsep tentang realistis yang sebenarnya sama seperti konsep yang berasal dari
Immanuel Kant tentang keunggulan rasio. Selanjutnya penulis juga mengenalkan
sebuah konsep teologi lainnya yang dibangun oleh seorang tokoh ilmuan dan
mistik Jesuit seperti Pierre Teilhard de Chardin yang kemudian dikenal dengan
Teolog Evolusi. Baginya Allah bukanlah penyebab terakhir yang menarik segala
sesuatu menuju kepada kesempurnaan di dalam diri-Nya. Center dari proses
evolusi Kristus yang meyakinkan manusia akan realitas proses evolusi dengan
membuatnya nyata di tangah-tengah manusia. Menurut penulis konsep yang
ditawarkan oleh Teilhard banyak kesulitan dalam mendapatkan perhatian dari
orang Calvinis yang dijelaskan tujug point kritiknya.
Selanjutnya penulis menjelaskan tentang teologi
Proses yang dipopulerkan oleh seorang professor dari Univeristas Chicago, sejak
tahun1963-1973 di negara-negara Barat, ajaran teologia yang terus-menerus
diperbincangkan ialah doktrin Allah. Dr Charles Hartshome mencoba menjelaskan
tentang keberadaan Allah dan karya-Nya dalam dunia yang skeptis. Namun Alferd
North Whitehead menyanggah pandangan Hartshome, ia membantah dan tidak setuju
terhadap teologi proses. Selanjutnya, penulis menjelaskan mengenai Teologi Ada
yang dilontarkan oleh Paul Tillich pada abad ke-20 yang biasanya dikenal
sebagai “teolognya para teolog”. Tillich setuju terhadap paham dari Barth dan
Bultmann tentang kritik tinggi para sarjana liberal terhadap Alkitab dan
mengajak untuk mendefinisikan ulang makna agama. Tillich menolak Alkitab
sebagai firman Allah yang diwahyukan, yang dapat diterapkan dalam zaman ini.
Doktrinnya Tillich mengenai Allah sangat berbeda dengan doktrin yang ada di
dalam Alkitab.
Selanjutnya penulis membahas mengenai mistikisme
yang menjelaskan tentang agama yang menekankan kesadaran langsung akan adanya
hubungan dengan Allah, mistikisme menekankan bahwa ada wahyu khusus diluar
Alkitab. Tentu hal ini adalah kesalahan yang fatal, sehingga dapat diartikan
bahwa pewahyuan yang ada dalam Alkitab bukanlah kebenaran yang mutlak. Selain
itu juga muncul aliran Pietisme, dalam pemahamannya menekankan mengenai
pengalaman. Bisa juga merujuk kepada mistiksime. Selanjutnya penulis
menjelaskan tentang “dispensionalisme”, inti dari pemahamannya yaitu bahwa
Alkitab selalu ditafsirkan secara harafiah. Tentu ini adalah pemahaman yang
keliru, sebab Alkitab memiliki genre.
Di bab selanjutnya penulis menjelaskan pemahaman
tentang “fundamentalisme” yang mengkritik gerakan liberalism dan teori evolusi
Darwin. Fundamentalisme ini menekankan beberapa kepercayaan Kristen yang
mendasar lewat konfernsi alkitab tahunan, pendirian sekolah Alkitab dan
seminari, penginjilan massal dan pengiriman badan misi ke luar negeri. Namun
hal ini terpecah sehingga muncul gerakan baru yang dinamakan
Neo-Fundamentalisme, yang memiliki ciri adalah dispensasionalisme ekstrem,
penarikan diri dari permasalahan sosial, ketakutan akan tantangan budaya
terhadap Injil dan pengabaian permasalahan etis.
Selanjutnya pembahasan mengenai Neo Evangelikalisme
dan kegagalanya. Pemahaman ini dipopulerkan oleh Dr. Harold Ockenga, ia
berusaha mau menggabungkan antara Neo-Fundamentalisme dengan Fundamentalisme.
Pemahaman menganai hal ini semakin berkembang namun sangat disayangkan bahwa
adanya ketidakcocokan belakangan ini terkait doktrin Alkitab (khususnya). Yang
sangat mencolok dari pemahaman yaitu gerakan ini mengompromikan iman
kepercayaan, berdamai dengan yang jahat, dan cenderung pada Neo-Ortodoksi.
Diakhir dari bab ini penulis menjelaskan posisi keyakinan Calvinis terhadap
gerakan-gerakan yang muncul pada sebelum dan sesudah tahun 1919 dalam Sidang
Dort di Belanda yang akhirnya memutuskan lima buah doktrin yang dikenal dengan
nama TULIP. Calvinis meyakini bahwa inti Injjil yang sesungguhnya adalah
anugerah atau kasih Karunia.
Keyakinan
Reform berada pada abad ke-16 di Eropa dan berlangsung pada abad ke-20. Hal ini
biasanya disebut sebagai “tiga kenyataan Alkitab” oleh Dr. Calvin Seerveld dari
Trinity Christian College, Chicago. Tanpa ketiga kenyataan tersebut, orang
percaya hanya akan mewarisi iman yang mempertahankan. 3 hal tersebut yaitu: Pertama, gereja bukanlah sekumpulan
anggota-anggota individu, melainkan satu tubuh, tubuh Kristus, umat Allah,
persekutuan Roh. Kedua, kehidupan
gereja di dalam Perjanjian Baru merupakan suatu kehidupan yang betul0betul
menyeluruh dan mencakup segala hal. Ketiga,
kehidupan rohani jauh luas dari apa yang dilakukan di dalam sebuah gedung
selama satu jam setiap hari Minggu. Kehidupan rohani itu nyata dalam kehidupan
mereka yang dikuasai Roh Kudus sehingga mereka menjadi surat-surat Kristus yang
hidup (2Kor.3:3). Inti dari ajarannya yaitu Gereja bukan lagi menjadi umat
Allah, melainkan sebuah bangunan, bukan suatu program yang meliputi kesaksian,
ibadah dan pelayanan, melainkan cuma satu jam yang diisi dengan nyanyian, doa
dan khotbah.
[1]Demitologisasi adalah metode penafsiran yang
digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci dengan menghilangkan bentuk
apa yang dianggap sebagai legenda dan mitos. Hal ini dilakukan agar inti yang
terkandung di dalam ayat-ayat tersebut sehingga dapat selaras dengan ilmu
pengetahuan dan filsafat modern.
[2]Infalibilitas
adalah suatu pernyataan bahwa Alkitab memiliki otoritas yang absolute dan tidak bercacat, semua
tulisan yang ada di dalam Alkitab tidak dapat digugat bersalah bahkan tidak
dapat disangkal kebenarananya.
0 Comments