Header

Isu-isu Terhadap Persembahan Persepuluahan - Andre Thunggal vs Gilbert Lumoindong

 





Kajian Teologis Mengenai Persembahan Persepuluhan

           

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

            Perjanjian Lama adalah firman Allah tanpa salah. Para penulis menuliskan setiap kata, kalimat, paragraf bahkan cerita di dalam Perjanjian Lama memiliki arti tunggal, yaitu arti yang dimaksud para penulis untuk orang sezamannya. Tidak heran jika banyak perbedaan-perbedaan yang ada ditengah kehidupan orang percaya. Maka sangat penting untuk meneliti firman Tuhan, Ezra telah menjadi contoh sebelum mengajarkan ketetapan dan peraturan bagi orang Israel, Ezra meneliti terlebih dahulu firman Tuhan tersebut (Ezra 7:10).

            Meneliti firman Allah bukan hanya tugas para pendeta, gembala, teolog. Tetapi semua orang yang percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah memiliki tanggungjawab untuk memahami firman Allah dengan baik.

            Semakin berkembangannya pemahaman, masalah pun semakin berkembang. Secara khusus dalam Perjanjian Lama. Sehingga terjadi pengelompokan-pengelompokan teologis yang terjadi saat ini seperti isu mengenai “persembahan persepuluhan”. Tentu masalah ini bukanlah masalah yang baru muncul bagi umat Kristen. Sebab sudah ada di dalam Perjanjian Lama ribuan tahun yang lalu. Artinya masalah persembahan persepuluhan sudah berlangsung bertahun-tahun yang lalu, Tatapi dewasa ini, persembahan persepuluhan seakan-akan menjadi masalah baru atau pokok teologi baru. Sehinggal muncul pengelompokan dalam membahas topik persembahan persepuluhan tersebut.

         Kelompok pertama tidak setuju bahwa persembahan persepuluhan adalah sebuah kewajiban dalam gereja. Hal ini dipahami oleh para teolog seperti: Stephen Tong, Erastus Sabdono, Andrey Thunggal. Sekitar Sembilan bulan yang lalu Andrey Thunggal dalam konten Youtubenya membahas dan membedah ayat-ayat Alkitab tentang persepuluhan. Andrey Thunggal membantah tegas para pendeta yang mewajibkan persepuluhan bagi jemaatnya. Persepuluhan adalah pemberian kepada para imam Lewi karena tidak ada penghasilan yang lain selain melayani Tuhan, mereka juga tidak memiliki lahan warisan turun-temurun karena itulah suku-suku lain memberikan sepersepuluh dari hasilnya untuk suku Lewi sebagai support kepada suku Lewi. Andrey juga berpandangan bahawa tidak tepat jika Maleakhi 3:10 dijadikan sebagai acuan untuk memberikan persepuluhan. Sebab pada saat itu, bangsa Israel hanya memikirkan kepentingannya dan kemakmurannya sendiri sehingga memberikan korban yang cacat bahkan tidak memberikan persepuluhan. Andrey lebih menekankan kepada esensi dari persepuluhan itu seperti belas kasihan kepada sesamanya.[1]

            Kelompok kedua setuju bahwa persembahan persepuluhan adalah sebuah kewajiban dalam gereja. Hal ini dipahami oleh Yoanes Kristianus, Philip Mantofa dan Gilbert Lumoindong. 24 Februari 2020 Pdt Gilbert Lumoindong dalam program yang dilaksanakan setiap hari senin (PHM) membahas tentang persepuluhan adalah sebuah kewajiban. Pendeta tersebut juga mengutip Maleakhi 3:10 sebagai dasar pemberiannya. Tidak hanya dalam Perjanjian Lama saja umat diwajibkan memberikan persembahan persepuluhan tetapi juga dalam Perjanjian Baru. Sebab jika melakukan hukum yang satu, yang lain juga tidak boleh diabaikan (kasih, keadilan, kebenaran). Maksud lainnya yaitu hukum harus tetap dijalankan, tetapi kasih, keadilan, kebenaran juga harus tetap dijalankan. Kutipan ayat yang diambil yaitu ketika orang Farisi memberikan persembahan persepuluhan, mereka memberikannya karena takut (dikutuk, dihukum, dsb), Pdt Gilbert menjelaskan dasar memberikan persembahan persepuluhan yaitu karena Tuhan terlalu baik, Dia telah memberkati setiap orang percaya.[2]

Dengan demikian, persembahan persepuluhan merupakan topik yang penting untuk dibahas. Maka penulis akan menjelaskannya melalui sudut pandang teologi Perjanjian Lama.

1.2. Rumusan Masalah

    Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis akan menjelaskan mengenai persembahan persepuluhan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Persembahan Persepuluhan

Persembahan adalah salah satu unsur di dalam rangkaian peribadatan umat Kristen. Unsur memberikan persembahan merupakan bagian yang penting sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan.[3] Persembahan yang dilakukan oleh orang percaya tidak dapat dipisahkan dari ibadah karena persembahan bukan sekedar simbol untuk memberi dengan apa yang dimiliki baik itu berupa uang, barang atau persembahan lainnya melainkan bukti nyata dari ucapan syukur manusia kepada Tuhan. Konsep inilah yang mendasari tindakan manusia untuk memberikan persembahan disetiap ibadah.[4] Persembahan dapat bermakana sebagai ungkapan mendalam ketika manusia menyadari bahwa dirinya sedang membangun hubungan kepada Tuhan. Makna tersebut berdasarkan pengertian yang benar dari ibadah itu sendiri.

Dalam Alkitab, kata persembahan muncul pertama kali ketika Kain dan Habel memberi persembahannya kepada Tuhan (Kejadian 4:1-16). Persembahan yang diberikan Kain tidak diindahkan oleh Tuhan, sehingga Kain sakit hati dan membunuh Habel adiknya itu.[5] Artinya bahwa persembahan Kain diacuhkan atau tidak diperhitungan oleh Tuhan. Dengan demikian, setiap orang yang memberikan persembahan harus berupaya agar Tuhan mengindahkan persembahan yang diberikan tersebut. Semakin berkembangnya zaman, persembahan pun terbagi beberapa jenis. Salah satunya yaitu mengenai persembahan persepuluhan yang dibahas dalam penulisan ini.

2.2. Persepuluhan Dalam PL

Dalam Perjanjian Lama sejak berabad-abad orang yang percaya kepada Allah wajib mempersembahkan sepuluh persen dari penghasilan yang diperoleh. Pemberian tersebut di dalam Alkitab disebut sebagai “persepuluhan”.[6] Menurut Wayne Watts Pemberian ini muncul dalam Alkitab sejak zaman Abram memberikan kepada Melkisedek sejak lebih dari empat ratus tahun sebelum Tuhan memberikan Sepuluh Hukum Musa. Pada Kejadian 14 setelah berperang melawan beberapa raja-raja, Abram memberi sepersepuluh dari hasil kemenangannya kepada Imam Allah yang disebut Melkisedek. Abram mempersembahkan persepuluhan tersebut sebagai sebuah tindakan ibadah dengan segala peraturan dan janji Allah kepada Abram. Persepuluhan yang diberikan merupakan pengakuannya bahwa Allah sebagai pemilik segala sesuatu.[7]

Persembahan persepuluhan bukanlah ide murni dari bangsa Israel atau Yahudi, melainkan sebuah tradisi yang sudah lama berkembang di bangsa-bangsa lain pada zaman Abram. Yammawo’a Bate’e, Wayne Watts, Samuel Hutabarat memberi pandangan bahwa Persembahn persepuluhan adalah suatu tradisi dan budaya yang sudah sangat lama ada sebelum sepuluh Hukum diberikan kepada Musa. Bahkan Abram memberi persepuluhan bukan karena diperintah oleh Tuhan, melainkan sudah menjadi kebiasaan yang umum.[8]

Kemudian persembahan persepuluhan menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan di zaman bangsa Israel. Persembahan persepuluhan diberikan kepada bani Lewi sebagai milik pusaka suku tersebut. Bani Lewi dikhususkan untuk melayani Tuhan di Kemah Suci. Sebagai upah dari pelayanan tersebut, kesebelas suku Israel yang mendapat bagian tanah memberikan persembahan persepuluhan kepada Bani Lewi. Setelah bani Lewi mendapatkan persembahan persepuluhan dari kesebelas suku Israel lainnya, bani Lewi juga harus mempersembahkan persepuluhan tersebut kepada Tuhan sebagai persembahan unjukan dari persepuluhan yang diterima dari suku Israel.

2.3. Persepuluhan Dalam PB

Dari penjelasan tersebut diatas, maka penulis merelevansikan bahwa persembahan persepuluhan masih sangat relevan untuk saat ini. Alkitab tidak pernah melarang umat/orang percaya untuk memberikan persembahan persepuluhan. Tetapi Allah mau menegaskan bahwa setiap memberikan persembahan persepuluhan, berilah bukan karena takut kena kutuk dan takut menjadi miskin, melainkan karena Allah mengasihi dan memberkati umat-Nya terlebih dahulu maka sebagai ucapan syukur umat seharusnya memberikan yang terbaik kepada Allah.

            Perjanjian Baru menegaskan bahwa memberi persepuluhan bukanlah sebuah jaminan bahwa mereka mengasihi Allah, ahli taurat dan para Farisi juga memberikan persepuluhan, tetapi dasar mereka dalam pemberian adalah takut terkena kutuk dan takut kena hukum, maka persembahan seperti itu bukanlah hal yang berkenan bagi Tuhan. Namun yang efektif ialah bahwa ketika memberikan persepuluhan, berilah dengan hati yang tulus dan mengakui bahwa ini adalah berkat yang datangnya dari Tuhan sehingga orang percaya tidak sulit untuk memberikan persembahan persepuluhan jika dasarnya adalah karena kasih. Baik kepada Allah maupun kepada gereja Tuhan saat ini.

            Bahkan di dalam Perjanjian Baru menjelaskan bahwa pemberian itu tidak hanya 10% saja, melainkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Kolerasi antara Perjanjian Lama dan Perjanjian baru sangat jelas, bahwa orang yang mengasihi Allah pasti memberikan yang terbaik bagi Allah. Secara prinsip, bagaimana mungkin bisa memberikan seluruh hidupnya jika hanya 10% saja tidak bisa diberikan kepada Tuhan.

BAB III

PENUTUP

3.1. Signifikansinya TPL dalam studi teologi

            Teologi Perjanjian Lama adalah study representasi dari apa yang dinyatakan Allah. Sedangkan studi teologi berarti ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang Allah. Dengan demikian, apa yang Allah nyatakan dilihat dari apa yang dipelajari dalam teologi yang ada. Dalam konteks ini, Teologi Perjanjian Lama merupakan cabang dari teologi biblika.

            Teologi biblika merupakan ilmu yang mempelajari perkembangan penyataan Allah dalam sejarah yang dinyatakan. Dengan demikian pembahasan mengenai persembahan persepuluhan perlu dilihat dari sejarah apa yang Allah nyatakan di dalam Perjanjian Lama. Seperti isu yang bermunculan tersebut menggunakan teks Perjanjian Lama dalam Malekahi 3: 10. Maka sangatlah penting untuk menyelidiki lebih lagi mengenai teks tersebut melalui teologi Perjanjian Lama.

            Kitab Maleakhi merupakan kitab yang menceritakan tentang kemarahan Tuhan terhadap bangsa Israel yang tidak melakukan perintah Tuhan dengan benar. Bangsa Israel telah menahan sebagian dari yang harus mereka berikan kepada Tuhan.

            Pesan Maleakhi dalam kitabnya menceritakan berbagai keadaan yang berhubungan dengan kemerosotan pada zaman Ezra (sekitar 515-458 SM, atau dari penyelesaian Bait Suci kedua sampai pada pelayanan Ezra di Yerusalem, yang mengasumsikan penanggalan tradisional untuk perjalanan Ezra itu adalah benar).[9]

Konteks Maleakhi 3:10 sering digunakan sebagai dasar dari persembahan persepuluhan

Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”

            Pada ayat 10, kata awal yang digunakan dalam ayat tersebut adalah  הָבִיאוּ dalam bentuk hipil imperatif orang kedua maskulin jamak, yang berasal dari kata kerja dasarבּוא  yang berarti “masuk”, “datang”. Bentuk hipil imperatif memiliki makna suatu perintah yang menyatakan suatu proses sebab akibat.  Dengan demikian perintah tersebut merupakan suatu intruksi yang harus mendorong mereka untuk memberi.

            Allah menyuruh bangsa Israel agar mereka kembali melakukan persepuluhan yang sudah lama mereka tidak lakukan. Kata  כָּל  dalam nominatif maskulin singular memiliki pengertian dasar yaitu “menjadi lengkap”. Kata  כָּל־הַמַּעֲשֵׂר dapat diterjemahkan dengan “seluruh persepuluhan”. Persepuluhan yang dibawa tidak boleh hanya sebagian (tidak utuh), karena dengan demikian menipu Allah, sebab persepuluhan adalah persembahan kepada Allah untuk hamba-Nya kaum Lewi.

            Menurut Hassell Buckner mengenai Kitab Maleakhi ditafsirkan sesuai namanya sebagai pengarang kitab terakhir dalam Perjanjian Lama. Istilah Maleakhi merupakan nama pribadi seorang tertentu yang diilhamkan Allah untuk mengarang kitab tersebut. Hal ini dilakukan sebab Allah memakai Maleakhi untuk melawan yang jahat sambil membela yang benar dan yang tepat menurut kebenaran-kebenaran Ilahi yang sudah diwahyukan Allah kepada umat-Nya.[10] Sedangkan menurut Browning menjelaskan bahwa penulis kitab Maleakhi dihubungkan erat dengan Bait Allah dan upacara keagamaannya dan ia menyesalkan kurang hormatnya umat Tuhan dalam beribadah, seperti ketika membawa korban dan hal menyerahkan persembahan persepuluhan. Mereka tidak setia kepada Allah, sehingga memberikan korban yang lemah dan cacat.[11] Jadi, dasar Maleakhi menyampaikan pesan mengenai persepuluhan yaitu: Pertama, karena perintah Tuhan. Kedua, karena Tuhan mau melihat respon yang dilakukan bangsa Israel terhadap perintah yang Tuhan berikan.

            Di sisi lain, Maleakhi juga menyampaikan pesannya kepada umat pilihan agar mereka bertobat dan membaharui perjanjian. Gereja Advent Hari Ketujuh mengatakan bahwa persembahan persepuluhn adalah milik Tuhan dan seharusnya dikembalikan dimana perbendaharaan-Nya atau gereja, dimana keanggotaan seseorang itu berada, dan menjadi suatu tindakan perbaktian.[12]

     Jika dilihat secara luas dari konteks kitab tersebut dalam hal ini Allah sedang mengingatkan Israel agar kembali kepada iman yang benar sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat kepada Allah. Maleakhi menjelaskan bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihi Israel (1:2-5). Akan tetapi walaupun Allah mengasihi mereka, Israel tetap melakukan hal yang jahat di mata Tuhan. Dengan demikian, pesembahan persepuluhan adalah hal yang wajib pada saat itu untuk dilakukan. Allah memerintahkan untuk memberi persepuluhan agar meyakinkan kembali Israel  akan janji Tuhan dan kasih-Nya. Jadi memberi persembahan persepuluhan bukan karena ingin dikasihi Allah tetapi justru karena Allah telah mengasihi umat-Nya terlebih dahulu.

3.2. Kesimpulan        

         Persembahan persepuluhan adalah sebuah pemberian yang dilakukan oleh umat Tuhan karena dorongan hati mereka setelah mendengarkan perintah dari Tuhan. Jadi, ketika ingin memberikan persembahan persepuluhan. Berilah dengan rasa hormat kepada Tuhan dan melalui dorongan hati orang percaya, bukan dengan rasa takut karena akan mendapatkan kutuk dan hukuman daripada Tuhan.


 

DAFTAR PUSTAKA

Literatur

A. Titaley, John. 2016. Persepuluhan dalam Alkitab Ibrani Israel Alkitab. Salatiga: Satya Wacana University Press.

Andrew E. Hill & John H. Walton. 2013. Survei Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.

Bate’e, Yamowa’a. 2009. Mengungkap Misteri Persepuluhan. Yogyakarta: ANDI.

D. Douglas. J.  1992. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF.

Departemen Penatalayan. 1984. Azas-Azas dan Garis-Garis Penuntun Mengembalikan Persepuluhan. Jakarta: UNI Indonesia Bagian Barat.

F. Hasel, Gerhard. 2001. Teologi Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas.

Gara, Nico. 2002. Menafsirkan Alkitab Secara Praktis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hassell Buckner, C.. 1999. Kitab Maleakhi. Bandung: Yayasan Baptisan Indonesia.

R. F. Browning, W.  2008. Kamus Alkitab. Jakarta: Bpk. Gunung Mulia.

Sitompul, Einar. 2004. Gereja Menyikapi Perubahan. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Watts, Wayne. 1985. Karunia Mempersembahkan. Jepara: Silas Press.

Youtube

Andrey Thunggal, https://youtu.be/wkZaoGXB88U

Gilbert Lumoindong, https://youtu.be/nTdXTvgIQso



[1] Andrey Thunggal, https://youtu.be/wkZaoGXB88U 15 Maret 2021 Jam 16.00

[2] Gilbert Lumoindong, https://youtu.be/nTdXTvgIQso 19 Maret 2021, 11:30 WIB

[3]Einar Sitompul, Gereja Menyikapi Perubahan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 159.

[4]J. D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1992), 409.

[5]Nico Gara, Menafsirkan Alkitab Secara Praktis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 24.

[6]John A. Titaley, Persepuluhan dalam Alkitab Ibrani Israel Alkitab (Salatiga: Satya Wacana University Press,2016), 43.

[7]Wayne Watts, Karunia Mempersembahkan (Jepara: Silas Press, 1985), 38.

[8]Yamowa’a Bate’e, Mengungkap Misteri Persepuluhan (Yogyakarta: ANDI, 2009), 29.

[9]Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama (Malang: Gandum Mas, 2013), 704.

[10]C. Hassell Buckner, Kitab Maleakhi (Bandung: Yayasan Baptisan Indonesia, 1999), 5-7.

[11]W. R. F. Browning, Kamus Alkitab (Jakarta: Bpk. Gunung Mulia, 2008), 251.

[12]Departemen Penatalayan, Azas-Azas dan Garis-Garis Penuntun Mengembalikan Persepuluhan (Jakarta: UNI Indonesia Bagian Barat, 1984), 16.

Post a Comment

0 Comments