BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filsafat panteistis Benedictus (Baruch) Spinozoa
(1632-1677) mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada adalah Allah dan tidak ada
sesuatu pun yang tidak tercakup di dalam Allah. Ia juga menegaskan bahwa
sesungguhnya tidak ada suatu apa pun yang dapat berada tanpa Allah. Namun pandangan
ini dibantah Skeptisisme (paham)
secara umum, keberadaan Allah diragukan oleh paham ini. Skeptisisme meragukan
segala keyakinan yang telah digenggam selama ini. sesungguhnya, tak dapat
dipastikan apakah Allah benar-benar ada atau tidak. Mungkin Allah ada, tetapi
mungkin juga tidak. David Hume (1711-1776) menegaskan bahwa tidak ada bukti
yang benar-benar sahih yang dapat membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa ia
menyelenggarakan dunia ini. Hume menolak eksitensi Allah, serta menganggap
bahwa moralitas semata-mata hanyalah perasaan manusia belaka. Terhadap perasaan
itu sendiri, akal sehat tidak memiliki wewenang untuk mengendalikan atau
mengawasinya.[1]
Ilmu
pengetahuan yang berkembang membuat nalar manusia menjadi tidak meyakini lagi
akan keberadaan Allah. Sehingga mencoba menafsirkan kebenaran Allah diatas pengetahuan
yang dimiliki. Pemahaman ini melupakan satu prinsip yang hakiki, yaitu bahwa
pengetahuan itu sendiri adalah datangnya dari Allah. Efek yang nyata dapat
terlihat dari kondisi tersebut adalah cara pandang antara ilmu pengetahuan dan
iman yang bersebrangan. Ironisnya, ilmu pengetahuan mengalahkan kadar keimanan
para manusia yang tidak menyadari akan keberadaan Allah. Perdebatan ini
sesungguhnya sudah lama diperbincangkan antara iman dan ilmu pengetahuan.
Bahkan sering kali terlihat beberapa pandangan bahwa antara ilmu pengetahuan
dan iman tidak pernah berdamai, dalam arti saling bertolak belakang. Padahal
sesungguhnya tidaklah demikian. Baik ilmu pengetahuan maupun iman harusnya
saling mendukung. Dalam arti, adanya iman adalah membuktikan apa yang belum
diketahui dan belum terlihat sementara adanya ilmu pengetahuan sebagai penjelas
dari apa yang belum diketahui atau belum kelihatan.[2]
Secara
umum, orang beriman selalu dikonotasikan sebagai orang beragama. Yang tak
beriman itu tak beragama. Karena itu, setiap orang yang menyebut diri atau
disebut sebagai Atheis, atau orang yang tidak percaya adanya Allah sebagai
orang tidak beriman. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang bahasa, kata “iman” dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia menunjukan bukan hanya berkenaan dengan agama melainkan juga “sesuatu, yang bisa dewa, atau kekuatan,
ataupun sebuah pemikiran” jadi secara filosofis, seorang Atheispun ternyata
adalah seorang yang sangat beriman bahwa Allah tidak ada. Alasan ini dibuat
karena untuk menjadi seorang Atheis diperlukan iman yang sangat kuat, beriman
bahwa Allah memang tidak ada.[3] Para
Atheis berpandangan sama dengan para filsuf, keduanya sulit mempercayai Allah
yang “immateri”. Kata “immateri” berarti tidak tampak oleh
mata. Segala sesuatu yang tidak ada wujudnya (tidak nampak) adalah tidak ada.
Karena Allah tidak nampak, hal ini mustahil untuk dipercayakan bagi para filsuf
dan atheisme. Maka karena itu, makalah ini dibuat agar menjelaskan mengenai
Allah yang tidak nampak.
1.2.Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan Immateri?
b.
Bagaimana mempercayai Allah?
c.
Analisis Filosofis Mempercayai Allah Yang Immateri
1.3. Tujuan Penulisan
a.
Menjelaskan apa yang dimaksud dengan immateri.
b.
Menjelaskan bagaimana mempercayai Allah.
c. Menjelaskan Filosofis Allah yang Immateri
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Apa yang
dimaksud dengan Immateri
Immateri adalah memori, informasi, gagasan, pikiran,
kesadaran dan kehendak atau hal-hal lain yang bukan materi. Tetapi Immateri
terkait erat dengan materi, karena Immateri memerlukan materi untuk bisa di
ungkapkan. Immateri memerlukan transformasi materi untuk hadir. Segala yang ada
tentu memiliki sejarah di dalam kehidupan manusia, tidak mungkin semua ada dengan
sendirinya. Apa yang tidak nampak belum tentu tidak ada, hal ini ditunjukan
kepada kita melalui penemu lampu. Thomas Alva Edison, ia merupakan salah satu
penemuan terhebat sepanjang sejarah. Lahir pada tanggal 11 Februari 1847 Milan, Ohio,A.S. ia meninggal pada 18
Oktober 1931 Namanya tidak asing jika kita mendengarnya. Ia menemukan lampu
dengan usaha yang berulang kali ia lakukan, meskipun saat ini Edison tidak
nampak tetapi buktinya ada, yaitu lampu yang dia ciptakan. Jadi segala sesuatu yang
tidak nampak bukan berarti tidak ada jika dilihat dari bukti-bukti yang ada.
Seperti alam semesta ini tentu ada bukan karena sendirinya, semua ada karena
Allah yang ada. Eksitensi-Nya walaupun tidak terlihat tetapi ada melalui
bukti-bukti yang ada saat ini.
2.2. Mempercayai
Allah
Jika Allah itu ada, mengapa saya tidak dapat
melihat-Nya? Jika dia mengampakan diri dan orang-orang benar dapat melihat-Nya
atau jika saya bisa melihat-Nya melakukan mukjizat, maka saya akan percaya.
Namun jika tidak begitu, saya tidak dapat percaya kepada Allah. Karena saya
hanya percaya apa yang saya lihat. Bagi saya tidak mudah mempercayai apa yang
tidak terlihat, terutama Allah. Kalau memang Dia ada, saya perlu bukti
keberadaan yang Ia harus wujudkan sehingga semua orang dapat percaya
kepada-Nya.
2.2.1. Doktrin Tentang Allah
Allah adala kebenaran.
Dialah sumber kebenaran kekal, Allah adalah diri-Nya sendiri. Dia adalah Dia
yang ada. Dia adalah ‘yang palng sempurna atau yang paling agung”. (inilah ide
yang dipakai oleh St. Anselm dalam argumen ontologi dalam memberikan definisi
mengenai Allah, yaitu Dialah yang utama dan Allah itu sempurna, tetapi Dia
sederhana. Allah adalah satu-satunya obyek legitimasi dari pikiran dan cinta
(kasih sayang). Allah adalah sumber pencerahan pikiran dan kekuatan dari
keinginan.
2.2.2. Allah menurut Filsuf
Filsafat Ketuhanan
adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa
yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama
tertentu (Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam
usaha. Jadi filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan
akal budi tentang Tuhan.[4]
2.2.2.1. Santo Agustinus
Santo Agustinus percaya
bahwa Allah ada dengan melihat sejarah dari penciptaan, yang melibatkan Allah
dan manusia. Allah menciptakan daratan untuk manusi hidup dibumi.[5]
2.2.2.2. Rene Descartes
Memikirkan Tuhan
bermula dari prinsip utamanya yang merupakan gabungan antara pietisme Katolik
dan Sains. Orang bisa menyangkal sesuatu tetapi tidak dapat menyangkal dirinya
sendiri. Jadi Allah di sini juga demikian, Allah sudah ada dengan sendirinya,
bahkan lebih jauh Descartes mencari bukti-bukti empiris yang dia warisi dari
para pendahulunya.[6]
2.2.2.3. Imanuel Kant
Ajaran Kant tentang
Allah ditemui dalam hukum moralnya melalui beberapa tahap yaitu; 1. Allah
adalah suara hati, 2. Allah adalah tujuan moralitas, 3. Allah adalah pribadi
yang menjamin bahwa orang yang bertindak baik demi kewajiban moral akan mengalami
kebahagiaan sempurna.[7]
2.3. Analisis
Filosofis Mempercayai Allah yang Immateri.
Materi dan Immateri adalah sebuah konsep yang membutuhkan kerangka berpikir untuk
dapat menjelaskan tentang hubungan antara Tuhan dan makhluk, yang juga
berkepentingan adalah kita manusia. Maka dengan ini konsep Tuhan yang Esa yang
tidak dapat dilihat mampu dijelaskan melalui konsep Materi dan Immateri. Oleh
Karen itu, manusia juga mesti menjaga konsistensi konsepnya. Dalam hal ini
tidak ada materi lain diluar alam semesta. Materi ialah perkataan yang dipergunakan sebagai
nama jenis subtansi yang mendasar dari alam fisik. Alam fisik ialah lingkungan
hal-hal yang menimbulkan pengalaman inderawi, yakni alam obyek-obyek yang dapat
merangsang alat-alat kelengkapan inderawi. Setiap manusia memiliki pancaindra,
seperti melihat, mencium, mendengar, merasa dan meraba. Hal yang ada tentu
dibuktikan bukan hanya dari melihat saja tetapi juga bisa dengan indra lainnya
seperti mencium. Contoh, mama Budi sedang masak dirumah, penciuman bisa juga
dirasakan oleh tetangga sebelah walaupun dia tidak melihatnya. Bahkan indra
lainnya juga dapat membuktikan keberadaan segala bentuk yang tidak dapat
terlihat.
Di dalam ilmu pengetahuan kita dapat mengetahui
Allah melalui DNA yang ada pada manusia. Hal ini tentu sangat menguatkan
kehidupan kita sebagai umat beragama yang mempercayai keberadaan Allah. Sebuah
contoh yang memudahkan manusia untuk memahami keberadaan Allah. Ia menyatakan
bagaimana di dalam gen bisa terdapat banyak DNA yang isinya milyaran bahkan
triliunan data. Apakah organisme ini menciptakan dirinya sendiri? Tentu tidak.
Hal ini tentu ada karena desigen yang luar biasa dari sesuatu yang hebat dari
luar jangkauan pemikiran manusia. Jika dalam sebuah DNA aja tidak bisa kita
pahami lalu bagaimana dengan alam semesta ini? seperti planet, bagaimana planet
berevolusi di garis edarnya? Apakah karena ada khendak sendiri dari planet?
Tentu tidak. Hal ini terjadi karena Sang Mahakuasa sudah menentukan semuanya
ini. Dalam hal ini, sains justru memperkuat keberadaan Allah yang mengatur
semua kehidupan manusia. Sains juga menjelasakan sejumlah entitas yang terkait
dengan ilmu pengetahuan tidak dapat dilihat tetapi masih dianggap sebagai
bagian yang penting dari realitas. Magnet, gravitasi, listrik, elektron, dan
neutrino adalah beberapa di antaranya. Ilmu pengetahuan ini tidak dapat dilihat
oleh manusia tetapi oleh manusia tetapi hal ini benar-benar ada. Hal yang tidak
kelihatan belum tentu tidak ada.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Allah
adalah objek yang tidak terlihat, namun melalui sains dan ilmu pengetahuan
lainnya akan membuktikan keberadaanya yang mutlak. Allah itu ada tidak dapat
dipikirkan sepenuhnya oleh-Nya. Allah dapat kita pahami sejauh mana ia
menunjukan diri-Nya keapada manusia. Jadi seberapa manusia mengerti tentang
Allah, sejauh itulah Allah menunjukan-Nya diri-Nya kepada kita. Jadi Allah itu
ada walaupun tidak terlihat. Segala sesuatu yang tidak terlihat belum tentu
tidak ada. Maka karena itu, percayalah akan keberadaannya. Tidak ada ruginya
jika kita percaya kepada Allah.
3.2. Saran
Penulis mengharapkan agar penjelasan ini dapat
dipahami dengan baik dan jika ada kesalahan, kiranya tulisan ini dikritik dan
diberi saran agar membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Engel Moris, dkk., The Study of
Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
Hendrik
Rapar Jan, 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta.
Kanisiu (halaman 48) cetakan 14
Pandapotan
Sitorus Jonter, 2019. Wawasan Dunia
Kristen dan Dunia Ilmu Pengetahuan, Edisi Revisi. Tangerang, Evernity
Fisher Media. Hlm 5
Petrus
L. Tjahjadi Simon., Tuhan para Filsuf
dan Ilmuwan, (Yogyakarta: Kanisius 2007) Hlm 11
Richard
Samples Kenneth, Without a Doubt,
Malang 2016. SAAT hlm 41
Sirait
Bigman, 2014. Menjadi Manusia Sempurna.
Jakarta, YAPAMA (Yayasan Pelayanan Media Antiokhia) Hal 303
[1]Jan
Hendrik Rapar, 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta.
Kanisiu (halaman 48) cetakan 14
[2]
Jonter Pandapotan Sitorus, 2019. Wawasan
Dunia Kristen dan Dunia Ilmu Pengetahuan, Edisi Revisi. Tangerang, Evernity
Fisher Media. Hlm 5
[3]Bigman
Sirait, 2014. Menjadi Manusia Sempurna.
Jakarta, YAPAMA (Yayasan Pelayanan Media Antiokhia) Hal 303
[4]Simon Petrus L.
Tjahjadi., Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan,
(Yogyakarta: Kanisius 2007) Hlm 11
[5]Moris Engel and Engelica Soldan., The
Study of Philosophy, USA: Rowman & Litlefield Publisher, Inc, 2008
[6]Simon Petrus L.
Tjahjadi, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
[7]Simon Petrus L.
Tjahjadi, Tuhan para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius 2007
[8]Kenneth
Richard Samples, Without a Doubt,
Malang 2016. SAAT hlm 41
0 Comments