KEBUTUHAN
AKAN HERMENEUTIKA
Memahami Alkitab dengan benar
merupakan sebuah tugas yang sulit dan sering kali membingungkan. Berikut hal
yang menyulitkan dibawah ini;
·
Alkitab adalah Firman Allah, namun
disampaikna kepada kita melalui cara yang dipakai manusia.
· Berita Ilahi harus jelas, namun banyak bagian
yang tampak sangat ambigu (tidak jelas).
· Kita mengakui peranan yang menentukan
dari Roh Kudus, namun pengetahuan ilmiah pasti dibutuhkan untuk memahami apa
yang sudah diwahyukan oleh Roh.
· Kitab Suci menyampaikan berita yang
Allah ingin kita dengarkan, namun berita tersebut disampaikan dalam lanskap
kesusastraan yang kompleks dengan begitu banyak variasi genre dan rentang waktu
yang panjang.
· Penafsiran yang tepat membutuhkan
kebebasan pribadi penafsiran, namun kebebasan tersebut disertai dengan berbagai
resiko akan terjadinya bias atau penyimpangan.
· Objektivitas berita Alkitab merupakan
bagian yang hakiki bagi pembaca, namun di satu pihak, presuposisi tentu saja
menyelipkan subjektivitas dalam kadar tertentu ke dalam proses penafsiran,
sedangkan di pihak lain, pascamodernitas mempertanyakan keabsahan dari konsep
objektivitas itu sendiri.
Hermeneutika
berasal dari kata kerja hermeneuin,
yang dalam bahasa Yunani berarti “menjelaskan, menafsir, atau menerjemahkan,”
sementara kata benda hermeneia berarti
“tafsiran” atau “terjemahan.” Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kitapun
memakai ilmu tafsir, sehingga kita dapat mengerti apa yang dilakukan orang
dalam kehidupan sehari-harinya.
Alkitab bukan hanya berisi kata-kata
dari penulis atau editor yang terakhir dari tiap buku, tetapi juga kata-kata
dari orang-orang yang kisahnya tercantum dalam buku tersebut. Kita mungkin
sangat tertarik untuk mengetahui apa yang dikatakan oleh Yesus yang menyejarah
dalam kejadian tertentu, namun kita tidak memiliki transkrip dari kata-kata
yang persis diucapkan. Yang kita miliki bahasa Yunani dan kini sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa modern. Untuk mencapai maksud-maksud penulis,
mereka memilih dan menata ulang perkataan dan perbuatan Yesus ke dalam cara
mereka yang unik. Kita tidak bermaksud bahwa para Penginjil mengubah atau salah
menguraikan apa yang sudah diucapkan Yesus, tidak juga seperti yang ditegaskan
oleh Beberapa sarjana Alkitab bahwa para Penginjil sebenarnya menambahkan
kata-kata yang sebenarnya tidak diucapkan oleh Yesus. Maksud kami adalah bahwa
kita harus menerima Alkitab apa adanya.
BEBERAPA TANTANGAN BAGI PENAFSIRAN
ALKITAB
KESENJANGAN WAKTU
Kesenjangan waktu merupakan hal yang berkaitan dengan waktu penulisan dan waktu terjadinya peristiwa yang tercatat dalam Alkitab berselang berabad-abad, hal ini kareana penulis Alkitab hidup pada zaman dulu, dan kejadian-kejadian yang ditulisnya juga terjadi pada jaman dulu, dan semua ini sangat berbeda dengan zaman sekarang. Lebih jauh lagi, kebanyakan kita kekurangan informasi yang penting tentang bagaimana kondisi dunia saat Alkitab ditulis. Kita mungkin tersesat ketika berusaha memahami apa yang dimaksudkan oleh sebuah teks karena teks tersebut berbicara tentang subjek yang berada diluar waktu kita. Suatu rentang waktu lain yang harus kita pertimbangkan dalam usaha menafsirkan Alkitab adalah perbedaan waktu yang timbul yang terdapat dibeberapa teks antara saat terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam teks yang kini berada di tangan kita. Karena catatan kronologis di dalam Kejadian berlanjut hingga kematian Yusuf, bagian-bagian awal seperti kejadian 12-25 mungkin ditulis lama setelah sang tokoh utamanya, Abraham meninggal. Dalam Alkitab, tentu saja penulis aslinya adalah saksi mata dan dengan ketat menuangkan dalam tulisan berdasarkan pengalaman pribadi mereka. Sebagian penulis memasukan bahan-bahan dari sumber lain dalam catatan mereka. Ada juga yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kontak pribadi dengan orang-orang atau peristiwa-peristiwa yang mereka catat.
KESENJANGAN
BUDAYA
Pada dasarnya adalah agraris,
terdiri dari para tuan tanah dan para petani penyewa tanah dengan memakai
peralatan mesin yang primitif menurut standar kita dan metode-metode perjalanan
yang lambat dan melelahkan. Di dalam halaman-halaman Alkitab kita bertemu
dengan adat istiadat, kepercayaan dan praktik yang bagi kita tidak ada
maknanya. Pengertian kita dengan adat istiadat kuno mungkin sudah begitu
dipengaruhi oleh apa yang kita piker merupakan maksud mereka sehingga kita
kehilangan signifikansinya. Sebagai contoh, apakah yang dimaksud dengan “tudung
kepala” dalam 1 Korintus 11:4-6? Apakah kita memahaminya sebagai sejenis topi?
Adalah mungkin terjadi bahwa setelah kita membaca Beberapa terjemahan kita akan
secara naluri beranggapan bahwa Paulus mengacau pada cadar, sehingga kita
membayangkan cadar yang dipakai oleh perempuan muslim di Timur Tengah hari ini.
Namun, baik topi maupun cadar mungkin bukanlah yang dimaksudkan. Kita mungkin
perlu melakukan penyelidikan tambahan untuk memahami subjek dan signifikansinya
secara tepat. Demikian pila, perhatian atas kebersihan di dunia Barat mungkin
tidak membantu (atau menjadi penghalang) bagi kita untuk memahami praktika
upacara pembasuhan orang Farisi (Mrk. 7:3-5). Kita harus mendisiplinkan diri
sendiri agar lebih berhati-hati menentukan signifikansi dari adat istiadat dan
konsep dari dunia Alkitab yang asing bagi kita. Kita tidak boleh sekedar
mengambil Alkitab dan membacanya seperti koran hari ini.
KESENJANGAN
GEOGRAFIS
Tantangan lain untuk mendapatkan
penafsiran yang benar atas Alkitab adalah kesenjangan geografis. Kecuali kita memiliki kesempatan untuk mengunjungi
tempat-tempat yang disebutkan dalam Alkitab, kita kekurangan sebuah bank data
mental dan visual yang akan membantu pemahaman kita tentang peristiwa-peristiwa
tertentu. Tentu saja, bahkan jika kita dapat mengunjungi semua tempat yang
dapat dicapai (dan banyak orang Kristen sudah melakukannya), hanya sebagian
kecil dari tempat-tempat itu tetap sama seperti masa dunia Alkitab (tidak ada
budaya yang bisa tetap bertahan). Dengan kata lain, kita akan kesulitan
membayangkan mengapa orang-orang di PB berbicara tentang “naik” ke Yerusalem
dari Kaisarea (Kis. 21:12) atau “turun” dari Yerusalem ke Yerikho (Luk. 10:30)
Kecuali kita mengetahui perbedaan tinggi rendah wilayah tersebut. mungkin agak
jarang disinggung, meskipun di banyak bagian belahan dunia kita menggali
kuburan “turun” ke dalam tanah, di Palestina kuburan sering digali ke dalam
batu kapur yang menggunung di atas permukaan tanah (atau gua-gua batu yang ada,
dipakai dan setelah itu ditutup dengan sebongkah batu besar). Jadi frasa, “ia
dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” (Kej. 49:29, 33; 2Raj. 22:20), mungkin
berawal dari praktik mengumpulkan tulang-tulang orang mati setelah dagingnya
hilang karena pembusukan dan dikumpulkan bersama tulang belulang nenek moyang
mereka disebuah lokasi. Demikian pula, pengetahuan geografi akan membantu kita
memahamai mengapa Yunus, yang berusaha menghindari panggilan Allah untuk
menyampaikan nubuat atas Asyur (terletak di sebelah Timur), melarikan diri ke
Tarsis (Terletak di sebelah Barat).
KESENJANGAN
BAHASA
Tugas penafsiran Alkitab selanjutnya
mengalami tantangan dari perbedaan bahasa
antara dunia Alkitab dan Dunia masa kini. Para penulis Alkitab memakai
bahasa Ibrani, Aram dan Yunani. Bahasa-bahasa yang tidak dimengerti oleh
sebagian besar orang. Bahasa Ibrani memiliki bentuk-bentuk kata benda, kata
ganti, dan kata kerja yang berbeda bagi maskulin dan feminin, jadi sebuah kata
bahasa Inggris “you” dapat mewakili
kata dalam bahasa Ibrani untuk tunggal dan jamak, maskulin dan feminin. Kata
jamak “mereka” diekspresikan berdasarkan gendernya. Kita juga secara umum tidak
memahami kebiasaan-kebiasaan dunia sastra dari para penulis zaman kuno. Kita
bergantung kepada sarjana Alkitab yang terlatih untuk menterjemahkan bahasa
Alkitab dan unsur-unsur kesusastraan yang ada kedalam bahasa kita hari ini,
sehingga pekerjaan mereka sebenarnya adalah sebuah penafsiran.
RELEVANSI KEKAL—FAKTOR ILAHI
Meskipun
Alkitab dihasilkan melalui prantaraan manusia dalam situasi-situasi kehidupan
yang sangat manusiawi, namun yang terutama dan terpenting adalah Alkitab
merupakan Firman Allah kepada umat-Nya; Alkitab memiliki “relevansi kekal.”
Kalau kita harus memperlihatkan sisi kemanusiaan dari Alkitab dan menekankan
bahwa dalam berbagai segi kita harus memperlakukannya sebagai kitab yang sama
dengan tulisan-tulisan lain, maka itu sama sekali tidak berarti bahwa kita
telah mengurangi kualitasnya sebagai buku ilahi.
TUJUAN DARI
HERMENUETIKA
Para penulis Alkitab tidakpernah
bertujuan bahwa tulisan-tulisan mereka akan menjadi objek dari studi seperti
itu. sama halnya dengan para sejarawan yang berusaha memahami sebab dan akibat
dari Perang Punic di zaman kuno mencoba menerapkan apa yang mereka temukan
dalam kehidupan pribadi mereka. Meskipun demikian, orang-orag percaya
mempelajari Alkitab dengan teliti karena mereka percaya Alkitab mengandung
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Jika kita menafsir dengan tepat
maka kitapun dapat mengerti kehendak Allah, maka ia juga sangat dibutuhkan
untuk mendapatkan penerapan yang benar. Setan mencoba memengaruhi Yesus untuk menerapkan
Kitab Suci secara keliru dalam salah satu pencobaan (Luk. 4:9-12). Mengutip
dari Mazmur 91:11-12, ia mendorong Yesus menerapkan Kitab Suci secara literal
dan menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah dengan jaminan bahwa Firman Allah
menjanjikan perlindungan Ilahi. Sebagai contoh, Yesus menunjukan kepada kita
bahwa setan menggunakan hermeunetika yang buruk.
SEJARAH PENAFSIRAN
Setiap orang yang ingin menafsirkan
Alkitab, maka harus mengetahui konteks sejarah aslinya—sebuah pandangan yang
diturunkan dari garis panjang para leluhur intelektual, baik orang Yahudi
maupun Kristen yang telah berusaha menafsirkan Alkitab dengan benar. Sebuah survei
yang sederhana atas sejarah penafsiran Alkitab membantu dalam berbagai segi. Pertama, hasil survei akan
memperkenalkan isu-isu kunci yang tidak terpisahkan dari penafsiran Alkitab,
yang, pada gilirannya, akan mempersiapkan para dari pelajar memahami pendekatan
yang kami ajarkan untuk menghadapi isu-isu tersebut. kedua, hasil survei akan membantu para pembaca lebih sensitif
kepada berbagai kesempatan dan lubang perangkap yang harus dilewati dalam usaha
mengontekstualisasikan pengajaran Alkitab ke dalam dunia masa kini.
PENAFSIRAN ORANG YAHUDI
Para
penafsir pertama alkitab adalah mereka yang pertama kali memiliki
Alkitab—bangsa Israel kuno yang mempelajari dan menyunting naskah yang
selanjutnya menjadi Kitab Suci orang Yahudi. Identitas dan sejarah karya mereka
tetap tidak terlacak, namun Kitab Suci orang Yahudi masih menunjukan jejak dari
karya mereka. Salah satu penulis anonym sebagai contoh, mengakhiri Ulangan
dengan penafsiran yang unik tentang signifikansi Musa: “seperti Musa yang
dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit diantara orang Israel” (UL. 34:10).
YUDAISME
HELENISTIK
Pada 333 SM, Alexander Agung
berhasil merampungkan penaklukannya atas Kerajaan Persia, termasuk Palestina.
Ia dan para penerusnya mulai memberlakukan kebudayaan Yunani di seluruh daerah
pemerintahannya. Pengaruh bangsa Yunani yang sangat kuat ditemukan pada
komunitas besar bangsa Yahudi di Aleksanderia, sebuah kota di Mesir yang diberi
nama untuk menghormati Kaisar agung mereka. Di sana, Yudaisme Helenistik
berkembang pesat, sebuah gerakan yang berusaha mengintegrasikan filosofi
Yunani,khususnya pemikiran Plato, dengan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
bangsa Yahudi.
Akhirnya, bahasa Yunani menggantikan
bahasa Ibrani sebagai bahasa yang secara umum dipakai kalangan bangsa Yahudi di
luar Palestina. Jadi, pada kira-kira 285 SM, par sarjana Yahudi aliran Alexandria
menghasilkam sebuah terjemahan yang luar biasa dari Pentateukh ke dalam bahasa
Yunani (bagian sisa Kitab Suci orang Yahudi yang diterjemahkan kemudian).
Terjemahan tersebut kemudian dikenal dengan Septuaginta (yakni, “70;” disingkat
LXX) karena menurut tradisi, terdapat
tujuh puluh sarjana yang menterjemahkannya, dan seterusnya menjadi Alkitab bagi
Gereja mula-mula.
KOMUNITAS
QUMRAN
Penafsiran kitab suci berbahasa
Ibrani memainkan peranan utama di Qumran. Jika hukum musa dipakai para rabi,
maka nabi PL menarik perhatian anggot kelompok Qumran. Dengan mengaku
mendapatkan wahyu Ilahi yang khusus, sang Guru Kebenaran mengklaim dapat
menunjukan bahwa peristiwa-peristiwa pada saat itu, khususnya yang berhubungan
dengan komunitas Qumran, menggenapi nubuatan-nubuatan PL. Hal ini menjelaskan
mengapa begitu banyak gulungan terdiri dari salinan atas kitab-kitab PL dan
mengapa Qumran menghasilkan banyak penafsiran atas kitab-kitab tersebut. bagi
kita, yang paling penting adalah berbagai tafsiran tersebut, semuanya
menunjukan prinsip-prinsip dari penafsiran Alkitab yang dijalankan oleh
komunitas tersebut.
Yudaisme berusaha mengaitkan Kitab
Suci kuno mereka dengan realitas kehidupan zaman mereka. Yudaisme Rabinik
menemukan sebuah perlindungan bagi identitas Yahudi dalam aplikasi Hukum Musa.
Tanpa menolak pengaruh-pengaruh dari luar, Yudaisme Helenistik mencoba
mengakomodasi kepercayaan mereka kepada berbagai pengaruh dari filosofi
Platonik. Dan kemudian Qumran yang asketik menggali PL untuk menemukan peran mereka
di dalam berbagai peristiwa yang terjadi pada masa mereka. Di tengah-tengah
berbagai aliran penafsiran yang kaya dan kompleks tersebut, penafsir Kristen
muncul dengan dua sikap: di satu pihak menyerap berbagai hal dari
penafsiran-penafsiran yang ada, di pihak lain berjalan berdampingan dengan
penafsiran-penafsiran sekarang-penafsiran kristiani.
YUDAISME RABINIK
Berpusat di Yerusalem dan Yudea,
cabang Yudaisme ini menekankan ketaatan kepada Kitab Suci Ibrani, khususnya
Taurat, di tengah-tengah tekanan yang meningkat untuk mengakomodasi budaya
Greko-Romawi. Model pendekatan penafsiran dan Yudaisme rabintik sangat kental
nilai sastranya. Bentuk sastra tersebut terdiri dari dua jenis. Halakah (Ibr.”Peraturan untuk diikuti”)
mencakup kesimpulan dari prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan bagi tingkah
laku umat manusia yang ditarikdari teks-teks PL yang berisi peraturan hukum. Haggadah (Ibr. “sebuah penyampaian
cerita”)’ kebalikannya, menggunakan kisah-kisah dan amsal-amsal dalam PL untuk
memberikan pengajaran kepada para pembaca.”
PERIODE APOSTOLIK
Kontinuitas
dan diskontinuitas, menandai perbandingan antara penafsiran Yahudi dan
penafsiran Kristen. Sebagai bangsa Yahudi yang saleh, para penafsir Kristen
yang pertama—para rasul – menganggap Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan
kepada bangsa Israel dan komunitas kecil agama yang diwariskan-Nya adalah
penggenapan sejati dari pengharapan Yudaisme sejak dulu. Mereka menggunakan
Alkitab PL untuk mendukung keyakinan-keyakinan mereka, menafsirkaknnya dengan
prinsip-prinsip yang sama dengan yang dipakai oleh banyak kelompok agama
Yahudi. Di pihak lain, mereka menghormati Yesus sebagai Musa baru dan otoritas
Yesus yang melampaui bahkan di atas Hukum Musa-sebuah langkah yang menentukan
untuk meninggalkan akar keyahudian mereka. Juga, mereka menafsirkan PL dari
sebuah prespektif baru secara radikal—dalam terang kemesiasan Yesus dan era
baru yang dimulai oleh kedatangan-Nya.
PERIODE PATRISTIK
Kematian
Yohanes, rasul terakhir, mengantarkan sebuah era baru ke dalam gereja. Era ini
bertahan hingga Gregotius I menjadi Paus pada 590 M. Kita menyebutnya “masa
patristic” karna ciri khas dari sumbangsih yang diberikan oleh mereka yang
disebut – para Bapa gereja – yang menjadi pemipin yang penting pada empat abad
pertama setelah masa apostolik (para rasul) berlalu. Dalam sebagian besar
periode patristic, tulisan-tulisan para rasul telah beredar di antara
gereja-gereja, namun belum dikumpulkan menjadi sebuah kitab kanon yang
digabung-kan dengan PL. oleh sebab itu, sementara Gereja telah menerima banyak
kitab dan surat yang kemudian menjadi bagian dari PB sebagai tulisan-tulisan
yang sejajar dengan PL, namun mereka tetap menganggap PL sebagai kumpulan Kitab
Suci yang memiliki otoritas utama.
Para Bapa Apostolik
Kita
membagi periode patristik ke dalam tiga subperiode utama. Pertama, subperiode para bapa apostolik yang meberikan kita
sekelumit penafsiran Kitab Suci selama setengah abad pertama setelah kematian
rasul Yohanes. Sumber-sumber kita adalah berbagai tulisan dari pemimpin gereja,
sepeti Clement dari Roma, Ignatius, Policarpus, dan seorang penulis samara yang
menyambut dirinya Barnabas. Tulisan-tulisan penting lainnya mencakup Didache (Yun. “Pengajaran”). Para bapa
gereja mula-mula terbukti menggunakan Beberapa metode penafsiran. Adakalanya,
mereka menggunakan tipologi untuk
menghubungkan PL dan PB. Terlebih khusus dalam pengajaran tentang Yesus. Pada
bagian lain, tipologi membantu penulis mengerjakan orang Kristen tentang
kehidupan berdasarkan PL.
Pendekatan yang paling popular di
antara para bapa gereja, khususnya ketika menafsirkan PL adalah alegori. Rupanya, terdapat Beberapa
faktor yang membuat mereka mengadopsi pendekatan ini. Mereka ingin mendukung
pengajaran mereka dari Kitab Suci PL, dengan asumsi, hal mereka ajarkan, dan
pada saat itu, metode alegorikal merupakan cara yang paling popular untuk
menafsirkan karya sastra secara umum. Oleh sebab itu, adalah wajar bagi mereka
untuk memakai metode kesusastraan yang sudah diterima pada zaman tersebut dan
mengaplikasikannya kepada Kitab Suci. Meskipun telah mendapat pelajaran dari
sejarah penafsiran, pembaca modern juga cenderung melakukan hal yang sama.
Perguruan Alexandria
Pada
waktu era kedua ketika sebuah generasi baru mengambil tugas penafsiran atas
Alkitab, khususnya atas PL, untuk memenuhi kebutuhan dari komunitas Kristen.
Meskipun tidak dapat disebut sebagai “metode” (gereja mula-mula, sebenarnya,
tidak memilikinya), pendekatan yang dilakukan adalah menafsirkan seluruh Kitab
Suci di bawah terang satu konsep teologis kunci. Dalam perguruan kateketikal
Kristen di Alexandria, konsep yang menonjol adalah pribadi Kristus, dan di
antara strategis-strategis pembaca yang diturunkan para bapa gereja, mereka mengadopsi
strategi alegori, yakni metode eksegetikal dari Philo, seorang cendikiawan
Alexanderia keturunan Yehuda, dan metode ini telah lama dipromosikan oleh para
pemikir Alexanderia di antara filsuf Yahudi dan filsuf Neoplatonik.
Tokoh kedua adalah penerus Clement,
seorang cendikiawan yang terkenal yang bernama Origen (185-254). Menurut
Origen, penafsira Kitab Suci yang bijaksana harus bergerak dari
peristiwa-peristiwa dalam sebuah bagian Kitab Suci (makna literalnya) untuk
mencari prinsip bagi kehidupan Kristen (makna moralnya) dan kebenran doctrinal
di dalamnya (makna rohaninya). Sebagai Contoh, perhatikan penafsiran Origen
tentang hubungan seksual antara Lot dengan kedua putrinya (Kej.19:30-38).
Menurut Origen, teks tersebut memilik makna literal, namun makna moralmya
adalah bahwa Lot mewakilipikiran rasional umat manusia, isterinya cenderung
mencari kesenangan jasmania dan kedua putrinya mengejar kemuliaan yang sia-sia
dan kesombongan.
ABAD PERTENGAHAN (ca. 590-1500 M)
Abad pertengahan
adalah milennium yang berada di antara periode patristik, yang didominasi oleh
para bapa gereja dan konsili-konsili, dengan gerakan-gerakan baru yang didorong
oleh Reformasi. Di satu pihak, periode ini berfungsi sebagai sebuah fase
transisi di antara kedua periode yang mengapitnya. Abad pertengahan ditandai
dengan meredupnya Beberapa hal yang menjadi ciri khas periode sebelumnya dan
meletakan dasar bagi datangnya periode selanjutnya. Secara umum, masa ini
terkesan sebagai sebuah periode yang gelap, opersif, dan gambaran tersebut
secara umum konsisten dengan realitas sejarah.
REFORMASI
Langkah dari era Abad pertengahan menuju Reformasi Protestan bukanlah sesuatu yang seradikal atau senyata yang sering dipikirkan. Ada banyak kekuatan historical yang menjadi penyebabnya, namun hanya satu penyebab yang layak disebutkan karena berhubungan dengan subjek yang sedang kita bahas. Selama era Abad Pertngahan, muncul konflik antara skolostika yang lebih tradisional melawan kelompok yang disebut kelompok terpelajar baru kaum humanais, seperti Erasmus. Dengan sedikit pembenaran, kubu kedua mencemooh apa yang ia sebut sebagai teologis skolastik pemisahan rambut dan akal yang kusut. Menurut kaum humanis, teologi seperti itu tidak menyediakan makanan rohani untuk jiwa-jiwa orang Kristen yang lapar, dan banyak penulis secara terbuka menyukai iman dan devosi yang sederhana dari Gereja mula-mula. Erasmus mengungkapkan bahwa teologi kering yang bebas dari spekulasi perlu disingkirkan bagi apa yang ia sebut sebagai “filosofi dari Kristus,” sebuah kerohanian yang murni dan kepedulian kepada etika yang berpusat kepada pengajaran Kristus.
0 Comments