Header

Ringkasan Buku || Biblical Interpretation (Pengantar Tafsiran Alkitab) - William W Clein

 

KEBUTUHAN AKAN HERMENEUTIKA

Memahami Alkitab dengan benar merupakan sebuah tugas yang sulit dan sering kali membingungkan. Berikut hal yang menyulitkan dibawah ini;

·         Alkitab adalah Firman Allah, namun disampaikna kepada kita melalui cara yang dipakai manusia.

·       Berita Ilahi harus jelas, namun banyak bagian yang tampak sangat ambigu (tidak jelas).

·       Kita mengakui peranan yang menentukan dari Roh Kudus, namun pengetahuan ilmiah pasti dibutuhkan untuk memahami apa yang sudah diwahyukan oleh Roh.

·     Kitab Suci menyampaikan berita yang Allah ingin kita dengarkan, namun berita tersebut disampaikan dalam lanskap kesusastraan yang kompleks dengan begitu banyak variasi genre dan rentang waktu yang panjang.

·    Penafsiran yang tepat membutuhkan kebebasan pribadi penafsiran, namun kebebasan tersebut disertai dengan berbagai resiko akan terjadinya bias atau penyimpangan.

·  Objektivitas berita Alkitab merupakan bagian yang hakiki bagi pembaca, namun di satu pihak, presuposisi tentu saja menyelipkan subjektivitas dalam kadar tertentu ke dalam proses penafsiran, sedangkan di pihak lain, pascamodernitas mempertanyakan keabsahan dari konsep objektivitas itu sendiri.

Hermeneutika berasal dari kata kerja hermeneuin, yang dalam bahasa Yunani berarti “menjelaskan, menafsir, atau menerjemahkan,” sementara kata benda hermeneia berarti “tafsiran” atau “terjemahan.” Dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya kitapun memakai ilmu tafsir, sehingga kita dapat mengerti apa yang dilakukan orang dalam kehidupan sehari-harinya.

Alkitab bukan hanya berisi kata-kata dari penulis atau editor yang terakhir dari tiap buku, tetapi juga kata-kata dari orang-orang yang kisahnya tercantum dalam buku tersebut. Kita mungkin sangat tertarik untuk mengetahui apa yang dikatakan oleh Yesus yang menyejarah dalam kejadian tertentu, namun kita tidak memiliki transkrip dari kata-kata yang persis diucapkan. Yang kita miliki bahasa Yunani dan kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa modern. Untuk mencapai maksud-maksud penulis, mereka memilih dan menata ulang perkataan dan perbuatan Yesus ke dalam cara mereka yang unik. Kita tidak bermaksud bahwa para Penginjil mengubah atau salah menguraikan apa yang sudah diucapkan Yesus, tidak juga seperti yang ditegaskan oleh Beberapa sarjana Alkitab bahwa para Penginjil sebenarnya menambahkan kata-kata yang sebenarnya tidak diucapkan oleh Yesus. Maksud kami adalah bahwa kita harus menerima Alkitab apa adanya.

BEBERAPA TANTANGAN BAGI PENAFSIRAN ALKITAB

KESENJANGAN WAKTU

Kesenjangan waktu merupakan hal yang berkaitan dengan waktu penulisan dan waktu terjadinya peristiwa yang tercatat dalam Alkitab berselang berabad-abad, hal ini kareana penulis Alkitab hidup pada zaman dulu, dan kejadian-kejadian yang ditulisnya juga terjadi pada jaman dulu, dan semua ini sangat berbeda dengan zaman sekarang. Lebih jauh lagi, kebanyakan kita kekurangan informasi yang penting tentang bagaimana kondisi dunia saat Alkitab ditulis. Kita mungkin tersesat ketika berusaha memahami apa yang dimaksudkan oleh sebuah teks karena teks tersebut berbicara tentang subjek yang berada diluar waktu kita. Suatu rentang waktu lain yang harus kita pertimbangkan dalam usaha menafsirkan Alkitab adalah perbedaan waktu yang timbul yang terdapat dibeberapa teks antara saat terjadinya peristiwa-peristiwa di dalam teks yang kini berada di tangan kita. Karena catatan kronologis di dalam Kejadian berlanjut hingga kematian Yusuf, bagian-bagian awal seperti kejadian 12-25 mungkin ditulis lama setelah sang tokoh  utamanya, Abraham meninggal. Dalam Alkitab, tentu saja penulis aslinya adalah saksi mata dan dengan ketat menuangkan dalam tulisan berdasarkan pengalaman pribadi mereka. Sebagian penulis memasukan bahan-bahan dari sumber lain dalam catatan mereka. Ada juga yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki kontak pribadi dengan orang-orang atau peristiwa-peristiwa yang mereka catat.

KESENJANGAN BUDAYA

Pada dasarnya adalah agraris, terdiri dari para tuan tanah dan para petani penyewa tanah dengan memakai peralatan mesin yang primitif menurut standar kita dan metode-metode perjalanan yang lambat dan melelahkan. Di dalam halaman-halaman Alkitab kita bertemu dengan adat istiadat, kepercayaan dan praktik yang bagi kita tidak ada maknanya. Pengertian kita dengan adat istiadat kuno mungkin sudah begitu dipengaruhi oleh apa yang kita piker merupakan maksud mereka sehingga kita kehilangan signifikansinya. Sebagai contoh, apakah yang dimaksud dengan “tudung kepala” dalam 1 Korintus 11:4-6? Apakah kita memahaminya sebagai sejenis topi? Adalah mungkin terjadi bahwa setelah kita membaca Beberapa terjemahan kita akan secara naluri beranggapan bahwa Paulus mengacau pada cadar, sehingga kita membayangkan cadar yang dipakai oleh perempuan muslim di Timur Tengah hari ini. Namun, baik topi maupun cadar mungkin bukanlah yang dimaksudkan. Kita mungkin perlu melakukan penyelidikan tambahan untuk memahami subjek dan signifikansinya secara tepat. Demikian pila, perhatian atas kebersihan di dunia Barat mungkin tidak membantu (atau menjadi penghalang) bagi kita untuk memahami praktika upacara pembasuhan orang Farisi (Mrk. 7:3-5). Kita harus mendisiplinkan diri sendiri agar lebih berhati-hati menentukan signifikansi dari adat istiadat dan konsep dari dunia Alkitab yang asing bagi kita. Kita tidak boleh sekedar mengambil Alkitab dan membacanya seperti koran hari ini.

KESENJANGAN GEOGRAFIS

Tantangan lain untuk mendapatkan penafsiran yang benar atas Alkitab adalah kesenjangan geografis. Kecuali kita memiliki kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang disebutkan dalam Alkitab, kita kekurangan sebuah bank data mental dan visual yang akan membantu pemahaman kita tentang peristiwa-peristiwa tertentu. Tentu saja, bahkan jika kita dapat mengunjungi semua tempat yang dapat dicapai (dan banyak orang Kristen sudah melakukannya), hanya sebagian kecil dari tempat-tempat itu tetap sama seperti masa dunia Alkitab (tidak ada budaya yang bisa tetap bertahan). Dengan kata lain, kita akan kesulitan membayangkan mengapa orang-orang di PB berbicara tentang “naik” ke Yerusalem dari Kaisarea (Kis. 21:12) atau “turun” dari Yerusalem ke Yerikho (Luk. 10:30) Kecuali kita mengetahui perbedaan tinggi rendah wilayah tersebut. mungkin agak jarang disinggung, meskipun di banyak bagian belahan dunia kita menggali kuburan “turun” ke dalam tanah, di Palestina kuburan sering digali ke dalam batu kapur yang menggunung di atas permukaan tanah (atau gua-gua batu yang ada, dipakai dan setelah itu ditutup dengan sebongkah batu besar). Jadi frasa, “ia dikumpulkan kepada kaum leluhurnya” (Kej. 49:29, 33; 2Raj. 22:20), mungkin berawal dari praktik mengumpulkan tulang-tulang orang mati setelah dagingnya hilang karena pembusukan dan dikumpulkan bersama tulang belulang nenek moyang mereka disebuah lokasi. Demikian pula, pengetahuan geografi akan membantu kita memahamai mengapa Yunus, yang berusaha menghindari panggilan Allah untuk menyampaikan nubuat atas Asyur (terletak di sebelah Timur), melarikan diri ke Tarsis (Terletak di sebelah Barat).

KESENJANGAN BAHASA

Tugas penafsiran Alkitab selanjutnya mengalami tantangan dari perbedaan bahasa antara dunia Alkitab dan Dunia masa kini. Para penulis Alkitab memakai bahasa Ibrani, Aram dan Yunani. Bahasa-bahasa yang tidak dimengerti oleh sebagian besar orang. Bahasa Ibrani memiliki bentuk-bentuk kata benda, kata ganti, dan kata kerja yang berbeda bagi maskulin dan feminin, jadi sebuah kata bahasa Inggris “you” dapat mewakili kata dalam bahasa Ibrani untuk tunggal dan jamak, maskulin dan feminin. Kata jamak “mereka” diekspresikan berdasarkan gendernya. Kita juga secara umum tidak memahami kebiasaan-kebiasaan dunia sastra dari para penulis zaman kuno. Kita bergantung kepada sarjana Alkitab yang terlatih untuk menterjemahkan bahasa Alkitab dan unsur-unsur kesusastraan yang ada kedalam bahasa kita hari ini, sehingga pekerjaan mereka sebenarnya adalah sebuah penafsiran.

RELEVANSI KEKAL—FAKTOR ILAHI

Meskipun Alkitab dihasilkan melalui prantaraan manusia dalam situasi-situasi kehidupan yang sangat manusiawi, namun yang terutama dan terpenting adalah Alkitab merupakan Firman Allah kepada umat-Nya; Alkitab memiliki “relevansi kekal.” Kalau kita harus memperlihatkan sisi kemanusiaan dari Alkitab dan menekankan bahwa dalam berbagai segi kita harus memperlakukannya sebagai kitab yang sama dengan tulisan-tulisan lain, maka itu sama sekali tidak berarti bahwa kita telah mengurangi kualitasnya sebagai buku ilahi.

TUJUAN DARI HERMENUETIKA

Para penulis Alkitab tidakpernah bertujuan bahwa tulisan-tulisan mereka akan menjadi objek dari studi seperti itu. sama halnya dengan para sejarawan yang berusaha memahami sebab dan akibat dari Perang Punic di zaman kuno mencoba menerapkan apa yang mereka temukan dalam kehidupan pribadi mereka. Meskipun demikian, orang-orag percaya mempelajari Alkitab dengan teliti karena mereka percaya Alkitab mengandung sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Jika kita menafsir dengan tepat maka kitapun dapat mengerti kehendak Allah, maka ia juga sangat dibutuhkan untuk mendapatkan penerapan yang benar. Setan mencoba memengaruhi Yesus untuk menerapkan Kitab Suci secara keliru dalam salah satu pencobaan (Luk. 4:9-12). Mengutip dari Mazmur 91:11-12, ia mendorong Yesus menerapkan Kitab Suci secara literal dan menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah dengan jaminan bahwa Firman Allah menjanjikan perlindungan Ilahi. Sebagai contoh, Yesus menunjukan kepada kita bahwa setan menggunakan hermeunetika yang buruk.

SEJARAH PENAFSIRAN

 Setiap orang yang ingin menafsirkan Alkitab, maka harus mengetahui konteks sejarah aslinya—sebuah pandangan yang diturunkan dari garis panjang para leluhur intelektual, baik orang Yahudi maupun Kristen yang telah berusaha menafsirkan Alkitab dengan benar. Sebuah survei yang sederhana atas sejarah penafsiran Alkitab membantu dalam berbagai segi. Pertama, hasil survei akan memperkenalkan isu-isu kunci yang tidak terpisahkan dari penafsiran Alkitab, yang, pada gilirannya, akan mempersiapkan para dari pelajar memahami pendekatan yang kami ajarkan untuk menghadapi isu-isu tersebut. kedua, hasil survei akan membantu para pembaca lebih sensitif kepada berbagai kesempatan dan lubang perangkap yang harus dilewati dalam usaha mengontekstualisasikan pengajaran Alkitab ke dalam dunia masa kini.

PENAFSIRAN ORANG YAHUDI

Para penafsir pertama alkitab adalah mereka yang pertama kali memiliki Alkitab—bangsa Israel kuno yang mempelajari dan menyunting naskah yang selanjutnya menjadi Kitab Suci orang Yahudi. Identitas dan sejarah karya mereka tetap tidak terlacak, namun Kitab Suci orang Yahudi masih menunjukan jejak dari karya mereka. Salah satu penulis anonym sebagai contoh, mengakhiri Ulangan dengan penafsiran yang unik tentang signifikansi Musa: “seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit  diantara orang Israel” (UL. 34:10).

YUDAISME HELENISTIK

Pada 333 SM, Alexander Agung berhasil merampungkan penaklukannya atas Kerajaan Persia, termasuk Palestina. Ia dan para penerusnya mulai memberlakukan kebudayaan Yunani di seluruh daerah pemerintahannya. Pengaruh bangsa Yunani yang sangat kuat ditemukan pada komunitas besar bangsa Yahudi di Aleksanderia, sebuah kota di Mesir yang diberi nama untuk menghormati Kaisar agung mereka. Di sana, Yudaisme Helenistik berkembang pesat, sebuah gerakan yang berusaha mengintegrasikan filosofi Yunani,khususnya pemikiran Plato, dengan kepercayaan-kepercayaan keagamaan bangsa Yahudi.

Akhirnya, bahasa Yunani menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa yang secara umum dipakai kalangan bangsa Yahudi di luar Palestina. Jadi, pada kira-kira 285 SM, par sarjana Yahudi aliran Alexandria menghasilkam sebuah terjemahan yang luar biasa dari Pentateukh ke dalam bahasa Yunani (bagian sisa Kitab Suci orang Yahudi yang diterjemahkan kemudian). Terjemahan tersebut kemudian dikenal dengan Septuaginta (yakni, “70;” disingkat LXX) karena menurut tradisi, terdapat tujuh puluh sarjana yang menterjemahkannya, dan seterusnya menjadi Alkitab bagi Gereja mula-mula.

KOMUNITAS QUMRAN

Penafsiran kitab suci berbahasa Ibrani memainkan peranan utama di Qumran. Jika hukum musa dipakai para rabi, maka nabi PL menarik perhatian anggot kelompok Qumran. Dengan mengaku mendapatkan wahyu Ilahi yang khusus, sang Guru Kebenaran mengklaim dapat menunjukan bahwa peristiwa-peristiwa pada saat itu, khususnya yang berhubungan dengan komunitas Qumran, menggenapi nubuatan-nubuatan PL. Hal ini menjelaskan mengapa begitu banyak gulungan terdiri dari salinan atas kitab-kitab PL dan mengapa Qumran menghasilkan banyak penafsiran atas kitab-kitab tersebut. bagi kita, yang paling penting adalah berbagai tafsiran tersebut, semuanya menunjukan prinsip-prinsip dari penafsiran Alkitab yang dijalankan oleh komunitas tersebut.

Yudaisme berusaha mengaitkan Kitab Suci kuno mereka dengan realitas kehidupan zaman mereka. Yudaisme Rabinik menemukan sebuah perlindungan bagi identitas Yahudi dalam aplikasi Hukum Musa. Tanpa menolak pengaruh-pengaruh dari luar, Yudaisme Helenistik mencoba mengakomodasi kepercayaan mereka kepada berbagai pengaruh dari filosofi Platonik. Dan kemudian Qumran yang asketik menggali PL untuk menemukan peran mereka di dalam berbagai peristiwa yang terjadi pada masa mereka. Di tengah-tengah berbagai aliran penafsiran yang kaya dan kompleks tersebut, penafsir Kristen muncul dengan dua sikap: di satu pihak menyerap berbagai hal dari penafsiran-penafsiran yang ada, di pihak lain berjalan berdampingan dengan penafsiran-penafsiran sekarang-penafsiran kristiani.

YUDAISME RABINIK

Berpusat di Yerusalem dan Yudea, cabang Yudaisme ini menekankan ketaatan kepada Kitab Suci Ibrani, khususnya Taurat, di tengah-tengah tekanan yang meningkat untuk mengakomodasi budaya Greko-Romawi. Model pendekatan penafsiran dan Yudaisme rabintik sangat kental nilai sastranya. Bentuk sastra tersebut terdiri dari dua jenis. Halakah (Ibr.”Peraturan untuk diikuti”) mencakup kesimpulan dari prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan bagi tingkah laku umat manusia yang ditarikdari teks-teks PL yang berisi peraturan hukum. Haggadah (Ibr. “sebuah penyampaian cerita”)’ kebalikannya, menggunakan kisah-kisah dan amsal-amsal dalam PL untuk memberikan pengajaran kepada para pembaca.”

PERIODE APOSTOLIK

Kontinuitas dan diskontinuitas, menandai perbandingan antara penafsiran Yahudi dan penafsiran Kristen. Sebagai bangsa Yahudi yang saleh, para penafsir Kristen yang pertama—para rasul – menganggap Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan kepada bangsa Israel dan komunitas kecil agama yang diwariskan-Nya adalah penggenapan sejati dari pengharapan Yudaisme sejak dulu. Mereka menggunakan Alkitab PL untuk mendukung keyakinan-keyakinan mereka, menafsirkaknnya dengan prinsip-prinsip yang sama dengan yang dipakai oleh banyak kelompok agama Yahudi. Di pihak lain, mereka menghormati Yesus sebagai Musa baru dan otoritas Yesus yang melampaui bahkan di atas Hukum Musa-sebuah langkah yang menentukan untuk meninggalkan akar keyahudian mereka. Juga, mereka menafsirkan PL dari sebuah prespektif baru secara radikal—dalam terang kemesiasan Yesus dan era baru yang dimulai oleh kedatangan-Nya.

PERIODE PATRISTIK

Kematian Yohanes, rasul terakhir, mengantarkan sebuah era baru ke dalam gereja. Era ini bertahan hingga Gregotius I menjadi Paus pada 590 M. Kita menyebutnya “masa patristic” karna ciri khas dari sumbangsih yang diberikan oleh mereka yang disebut – para Bapa gereja – yang menjadi pemipin yang penting pada empat abad pertama setelah masa apostolik (para rasul) berlalu. Dalam sebagian besar periode patristic, tulisan-tulisan para rasul telah beredar di antara gereja-gereja, namun belum dikumpulkan menjadi sebuah kitab kanon yang digabung-kan dengan PL. oleh sebab itu, sementara Gereja telah menerima banyak kitab dan surat yang kemudian menjadi bagian dari PB sebagai tulisan-tulisan yang sejajar dengan PL, namun mereka tetap menganggap PL sebagai kumpulan Kitab Suci yang memiliki otoritas utama. 

Para  Bapa Apostolik

Kita membagi periode patristik ke dalam tiga subperiode utama. Pertama, subperiode para bapa apostolik yang meberikan kita sekelumit penafsiran Kitab Suci selama setengah abad pertama setelah kematian rasul Yohanes. Sumber-sumber kita adalah berbagai tulisan dari pemimpin gereja, sepeti Clement dari Roma, Ignatius, Policarpus, dan seorang penulis samara yang menyambut dirinya Barnabas. Tulisan-tulisan penting lainnya mencakup Didache (Yun. “Pengajaran”). Para bapa gereja mula-mula terbukti menggunakan Beberapa metode penafsiran. Adakalanya, mereka menggunakan tipologi untuk menghubungkan PL dan PB. Terlebih khusus dalam pengajaran tentang Yesus. Pada bagian lain, tipologi membantu penulis mengerjakan orang Kristen tentang kehidupan berdasarkan PL.

Pendekatan yang paling popular di antara para bapa gereja, khususnya ketika menafsirkan PL adalah alegori. Rupanya, terdapat Beberapa faktor yang membuat mereka mengadopsi pendekatan ini. Mereka ingin mendukung pengajaran mereka dari Kitab Suci PL, dengan asumsi, hal mereka ajarkan, dan pada saat itu, metode alegorikal merupakan cara yang paling popular untuk menafsirkan karya sastra secara umum. Oleh sebab itu, adalah wajar bagi mereka untuk memakai metode kesusastraan yang sudah diterima pada zaman tersebut dan mengaplikasikannya kepada Kitab Suci. Meskipun telah mendapat pelajaran dari sejarah penafsiran, pembaca modern juga cenderung melakukan hal yang sama.

Perguruan Alexandria

 Pada waktu era kedua ketika sebuah generasi baru mengambil tugas penafsiran atas Alkitab, khususnya atas PL, untuk memenuhi kebutuhan dari komunitas Kristen. Meskipun tidak dapat disebut sebagai “metode” (gereja mula-mula, sebenarnya, tidak memilikinya), pendekatan yang dilakukan adalah menafsirkan seluruh Kitab Suci di bawah terang satu konsep teologis kunci. Dalam perguruan kateketikal Kristen di Alexandria, konsep yang menonjol adalah pribadi Kristus, dan di antara strategis-strategis pembaca yang diturunkan para bapa gereja, mereka mengadopsi strategi alegori, yakni metode eksegetikal dari Philo, seorang cendikiawan Alexanderia keturunan Yehuda, dan metode ini telah lama dipromosikan oleh para pemikir Alexanderia di antara filsuf Yahudi dan filsuf Neoplatonik.

 Tokoh kedua adalah penerus Clement, seorang cendikiawan yang terkenal yang bernama Origen (185-254). Menurut Origen, penafsira Kitab Suci yang bijaksana harus bergerak dari peristiwa-peristiwa dalam sebuah bagian Kitab Suci (makna literalnya) untuk mencari prinsip bagi kehidupan Kristen (makna moralnya) dan kebenran doctrinal di dalamnya (makna rohaninya). Sebagai Contoh, perhatikan penafsiran Origen tentang hubungan seksual antara Lot dengan kedua putrinya (Kej.19:30-38). Menurut Origen, teks tersebut memilik makna literal, namun makna moralmya adalah bahwa Lot mewakilipikiran rasional umat manusia, isterinya cenderung mencari kesenangan jasmania dan kedua putrinya mengejar kemuliaan yang sia-sia dan kesombongan.

ABAD PERTENGAHAN (ca. 590-1500 M)

Abad pertengahan adalah milennium yang berada di antara periode patristik, yang didominasi oleh para bapa gereja dan konsili-konsili, dengan gerakan-gerakan baru yang didorong oleh Reformasi. Di satu pihak, periode ini berfungsi sebagai sebuah fase transisi di antara kedua periode yang mengapitnya. Abad pertengahan ditandai dengan meredupnya Beberapa hal yang menjadi ciri khas periode sebelumnya dan meletakan dasar bagi datangnya periode selanjutnya. Secara umum, masa ini terkesan sebagai sebuah periode yang gelap, opersif, dan gambaran tersebut secara umum konsisten dengan realitas sejarah.

REFORMASI

 Langkah dari era Abad pertengahan menuju Reformasi Protestan bukanlah sesuatu yang seradikal atau senyata yang sering dipikirkan. Ada banyak kekuatan historical yang menjadi penyebabnya, namun hanya satu penyebab yang layak disebutkan karena berhubungan dengan subjek yang sedang kita bahas. Selama era Abad Pertngahan, muncul konflik antara skolostika yang lebih tradisional melawan kelompok yang disebut kelompok terpelajar baru kaum humanais, seperti Erasmus. Dengan sedikit pembenaran, kubu kedua mencemooh apa yang ia sebut sebagai teologis skolastik pemisahan rambut dan akal yang kusut. Menurut kaum humanis, teologi seperti itu tidak menyediakan makanan rohani untuk jiwa-jiwa orang Kristen yang lapar, dan banyak penulis secara terbuka menyukai iman dan devosi yang sederhana dari Gereja mula-mula. Erasmus mengungkapkan bahwa teologi kering yang bebas dari spekulasi perlu disingkirkan bagi apa yang ia sebut sebagai “filosofi dari Kristus,” sebuah kerohanian yang murni dan kepedulian kepada etika yang berpusat kepada pengajaran Kristus.

 


Post a Comment

0 Comments