Header

Ringkasan Buku Ayub (Bergumul dengan penderitaan bergumul dengan Allah) || M. C. Barth




AYUB

Kisah Ayub merupakan penjelasan bagaimana kehidupan manusia yang mengalami suatu penderitaan.  Dalam Tradisi Yahudi dan Kristen, kisah Ayub mendorong pembahasan yang cukup mendalam dan rumit tentang apa yang diistilahkan. Keadilan Tuhan yang menjadi sorotan dalam cerita ini, karena orang yang takut kepada Tuhan mengalami cobaan yang begitu berat menimpa kehidupan manusia. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang kemahakuasaan Allah. Namun pada dasarnya, setiap musibah yang dialami pasti Tuhan memberikan jalan keluar kepada orang yang mengalaminya. Ketika Ayub bertahan dalam ujian maka Tuhan angkat dan bawa kehidupan Ayub semakin naik. Beberapa orang berpendapat tentang kisah Ayub adalah desain Tuhan, yang berarti bahwa sudah ditentukan Tuhan sejak semula, kita harus paham segala yang diberikan Allah itu baik. Jadi Allah tidak merencanakan yang buruk di dalam kehidupan manusia. Setiap cobaan yang dialami Ayub menjadi dasar bagi orang percaya bahwa setiap orang pasti mengalami cobaan, tetapi bagaimana orang percaya meresponi setiap cobaan yang dialami dengan usaha yang dilakukan.

Kitab Ayub menceritakan riwayat kehidupan seorang laki-laki yang makmur dan baik kelakuannya tetapi mengalami pencobaan. Anak-anaknya mati, kedudukan dan harta bendanya habis bahkan orang-orang disekitarnya menyalahkan dia, teramasuk istrinya. Teman-teman Ayub berpandangan bahwa ayub melakukan kesalahan sehingga Allah memberi hukuman. Tetapi Ayub terus bersikap sebagai orang yang bijaksana dan selalu meminta pertolongan dari Allah, walaupun ia percaya kepada Tuhan kata orang tetapi ia telah bertemu dengan dia. Ayubpun dihiburkan dalam pendamaian dengan Allah dan ia dapat meneruskan damai sejahtera pada teman-teman dan keluarganya. Cerita Ayub merupakan bagian kesusastraan sedunia sebagai karya kuno yang setingkat dengan drama Yunani, atau karya termasyur dari Dante, Shakespeare, Goethe, dan seterusnya. Cerita Ayub juga terdapat dalam agama islam, ia disebut sebagai nabi dalam al-Quran. Bahkan dalam Surat Yakobus 5:11 menceritakan ketekunan Ayub dalam kehidupan yag dialaminya. Maka banyak orang yang mengenal cerita Ayub karena kekuatannya dalam menghadapi pencobaan. Sehingga kitab ini termasuk dalam karya kuno orang Yunani yang setingkat dengan drama Yunani. Kitab Ayub merupakan pengalaman yang dialami Ayub yang benar-benar terjadi, bukan dongeng. Kitab Ayub adalah karya yang memberi bentuk sastra pada pengalaman yang dihayati banyak orang dan diperhadapkan pada pembaca dalam bentuk cerita dan puisi. [1]

PEMBAHASAN

Ayub takut akan Allah. Dalam bahasa Ibrani rumus ini berarti “merasa kagum dan menghormati Allah”, orang yang takut akan Allah dalam kisah ini bukan sedang takut atau ketakutan dan pasrah, tetapi merupakan pengakuan pada wibawa Allah. Ayub memiliki anak-anak yang ingin menentukan hidupnya sendiri. Mereka biasa mengadakan perjamuan dengan makan dan minum di ruah masing-masing. Ayub tidak mau anak-anaknya menyakiti hati Allah. Bahkan ketika anaknya melakukan sesuatu yag salah, tidak sesuai dengan apa ketetapan yang diberikan maka Ayub merasa malu bahwa ia sendiri tidak mampu mendidik anak-anaknya sedemikian rupa agar mereka menerima patokan hidupnya dan takut akan Allah serta menjauhi yang jahat. Ayub sungguh takut bahwa anak-anak akan menderita jika mereka keluar dari patokan yang ditentukan Allah.

        Pencobaan yang di alami Ayub sangat membuat ia menderita. Ayub ditimpa dengan barah yang busuk dari telapak kakinya sampai ke bara kepalanya. Panas kering, panas dingin dirasakan melalui kulit. Kulit melindungi otot-otot dari rasa dingin, kotoran dan sebagainya. Kulit merupakan batas antara saya dan yang lain. Penyakit kulit yang dialami Ayub sangat mengganggu, menimbulkan rasa gatal, sakit, terlihat jelek dan menghindarkan ketenangan siang dan malam. Ayub merasa tersiksa. Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya sambil duduk di tempat abu-abu. Sesuai adat pada saat itu, ia dibawa keluar rumah agar tidak menyakiti yang lain. Ia diantar ke tempat di mana masyarakat membawa abu. Di situ ia diberikan pelayanan seperlunya. Ayub tidak mengatakan apa pun juga. Ia bungkam dalam penderitaannya.[2]

       Ketika Ayub sedang mengalami penderitaan yang begitu berat dalam kehidupan manusia, orang terdekat dengan dia sekalipun (istrinya) menjatuhkan dia, malah menyuruh untuk mengutuki Allah yang Ayub sembah. Betapa sakit hatinya Ayub ketika mendengar perkataan yang istrinya berikan. Secara kemanusiawian Ayub merasakan tekanan dari dalam dan dari luar yang begitu parah. Saat istrinya mengatakan hal yang membuat Ayub jatuh, Ayub tetap percaya kepada Allah dan tidak meninggalkan Allah karena perkataan istrinya itu. Bahkan Ayub menanggapi perkataan isterinya dengan mengatakan bahwa perkataan isterinya seperti perempuan gila, maksudnya ialah seperti orang yang tidak mengenal Allah. Memang mereka sama-sama mengalami penderitaan karena telah kehilangan anak-anaknya dan harta bendanya tetapi Ayub tetap bertahan dalam pencobaan yang ia alami tidak seperti isterinya yang meninggalkan Allah.

         Selain tekanan dari isteri, Ayub pun mengalami tekanan dari teman-temannya juga. Ketika teman-teman terdekatnya mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah mereka dari tempatnya masing-masing. Elifas datang dari Teman di Moab, di sebelah timur Laut Mati (Kej.39:39; Yes.48:20). Bildad datang dari kota Suah, yang terletak di tepi Sungai Eufrat, dan Zofar datang dari kota Naamah yang terletak di Lereng Gunung Lebanon di jalan di antara Beirut dan Damsyik. Di hadapan kesusahan yang menimpa dia, Ayub tidak melihat jalan keluar selain maut, teman-teman atau sahabat Ayub justru malah memojokan dia untuk semakin membuat Ayub tertekan. Ayub menyebut kenyataan penderitaan secara yang mengerikan dengan rasa sakit dan dengan kiasan yang kuat ia melukiskan apa yang dialami.

       Ketiga sahabat membicarakan arti kesusahan yang diderita Ayub. Pengertian para sahabat dan Ayub terlalu besar bedanya dan berlangsung di tingkat berpikir yang lain. Para sahabat meneruskan ajaran hikmat dan Ayub bergumul dengan penderitaan yang menimpa dia dari pihak Allah dan menimbulkan persoalan baru. Pembicaraan yang mulai dengan sopan santun menjadi makin tajam dan agresif, dan akhirnya ternyata gagal. Para sahabat mirip satu dengan yang lain, namun masing-masing mempunyai tekanan sendiri dan mewakili suatu aliran pemikiran. Demikian Elifas yakin bahwa tiap tindakan berakibat sehingga perlu ditanyakan apa sebabnya timbul situasi kekinian. Khususnya tiap penderitaan membuktikan bahwa telah terjadi kesalahan, tetapi Alla mengenal kelamahan manusia dan rela mengampuni orang yang bertobat, mengaku salah dan rela mencari yang baik.

Babak Pertama

           Elifas menasihati (pasal 4) sebagai orang yang terkemuka, Elifas ingin menolong sahabatnya dan mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi segala susahnya. Ia sadar bahwa harus dipilih perkataan dengan bijaksana. Elifas meminnta izin bicara dan mengingatkan Ayub bahwa dahulu dialah yang menasihati orang sengsara. Ayub tidak pernah meminta hadiah atau dukungan dari siapapun, tetapi ia ingin mengetahui mengapa ia dipersalahkan. Karena sesungguhnya ia tidak sadar apa alasan celaan itu, maka ia mengharapkan perkataan tepat dan jujur, yang menjawab pertanyaan yang lebih menyakitkan daripada penyakit itu sendiri. Seandainya Allah tidak segera menjawab keluhan Ayub, maka kesempatan akan hilang karena di dalam maut tidaklah orang ingat kepada Allah (Mzm 6:6) Ayub bingung sehingga dia mengatakan apakah gerangan manusia, sehingga dia Kau anggap agung dan Kauperhatikan, dan kaudatangi setiap pagi,dan Kauuji setiap saat? (7:17-18). Tetapi walaupun ia menderita ayub tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang benar dihadapan Allah.

           Bildad pun ingin menolong Ayub, tetapi ia memandang keluh kesah dan keyakinan Ayub sebagai angin timur dari gurun yang sangat panas dan berbahaya untuk ladang dan manusia. Bildad memahami tatanan alam semesta dan dengan kebenaran/keadilan, ia memahami hubungan yang benar antara segala makhluk ciptaan itu dan apa yang kita sebut “masyarakat yang adil”. Daripada meragukan sikap Allah. Demikian pula tradisi menjadi syarat agar kehidupan dapat berkembang. Kepribadian orang dapat ditentukan oleh adat dan tradisi budaya yang diwarisinya dari leluhur. Bagi Bildad usaha Ayub untuk mengerti apa sebabnya ia ditimpa penderitaan itu hanya menimbulkan perasaan negatif dan ia menempatkan Ayub di antara orang sombong yang merasa diri lebih pandai daripada Allah.

Babak Kedua

            Elifas dan kedua teman datang mengunjungi Ayub untuk menolong dia dalam penderitaannya. Mereka ingin mengantarkan dia pada hidup yang sejahtera lagi. Mereka datang sebagai orang yang berhikmat yang telah mempelajari etika, agama, peminaan orang dewasa. Mereka berpengalaman menasihati orang dalam berbagai-bagai persoalan serta mengatarkan mereka mengatasi kesulitannya. Mereka mengalimatkan nasihat mereka dengan indah, secara yang meyakinkan, dan patut didengar. Mereka hanya punya satu kelemahan: mereka sudah tahu, mereka tidak perlu mendengar orang dan memperhatikan persoalan mereka karena mereka berbicara atas nama Hikmat yang sempurna. Pada masa kini, ada juga orang yang merasa “sudah tahu” berdasarkan pernyataan ilahi atau ideology yang diyakini. Ayub menderita dan ingin mengetahui apa sebabnya. Ia menolak jawaban tradisional yang tidak kena-mengena dengan pengalamannya, khususnya ajaran bahwa pederitaan selalu merupakan akibat kesalahan. Bukankah ia “menghindari yang jahat” dan berusaha membuat yang benar dan adil. Ia bergumul dengan Allah untuk meminta jawaban langsung kepada-Nya

Babak Ketiga

            Pembicaraan dalam babak ketiga ini membahas tentang orang yang saling menuduh dan mencurigai, namun tetap berbicara, mereka hanya dapat mengulang-ulang yang telah dikatakan mereka. Tidak jelas lagi siapa mengangkat suara, semua mau menegaskan pandangan dan pembicaraan menjadi makin kabur dan suram dari sudut pandang formal. Timbul juga suatu persoalan hakiki: Elifas yakni bahwa ia menyampaikan hiburan Allah (15:11) yang berwibawa mutlak. Ayub mendengar perkataan seorang manusia yang menganut suatu pandangan tertentu dan yang tidak berhubungan dengan situasi pribadinya atau kenyataannya. Tetapi Ayub menolak pengajarannya dan tetap mementingkan diri sendiri sebagai korban ketidakadilan Allah. Hal itu keterlaluan dan ia harus disadarkan. Elifas melihat dalam penderitaan Ayub bukti kesalahannya dan melukiskan kejahatan berdasarkan ajaran tradisional tanpa hubungan dengan teman yang di hadapannya.

Akhir Dialog

            Dalam pasal terakhir dari dialogi, babk ketiga tidak jelas lagi siapa yang berbicara. Ayub mengulang inti pembelaan terhadap teori teman-temannya: aku adil/benar dan tidak pernah melakukan kecurangan (27:1-6). Tidak jelas siapa menuduh lawannya dalam ayat 7-10. Dalam ayat 11-12, seorang berhikmat hendak mengajarkan makna kuasa Allah, tetapi perkataannya hanya merupakan suatu fragmen. Ayat 13-23 menyampakan ajaran hikmat tradisional tentang nasib orang jahat dan mungkin dapat dilihat sebagai piadato ketiga dari Zofar. Ayub menolak teori teman-teman bahwa kesalahannya sendiri mendatangkan hukuman penderitaan atas dirinya. Ia tidak mengatakan bahwa ia tak berdosa, tetapi bahwa ia senantiasa berusaha bertindak secara adil dan benar. Kebenaranku ku pegang teguh dan tidak kulepaskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada umurku (27:6). Memang terdapat manusiayang hidup sesuai dengan keyakinannya dan tidak merasa malu atas tindakan mana pun yang ia lakukan sekalipun ia menyadari keterbatasan usahanya. 27:13-23 mengangkat sekali lagi nasib orang fasik menurut hikmat tradisional. Berbeda dengan kedua babak pertama, Ayub tidak memberikan jawaban. Ternyata, suasana tidak mengizinkan lagi para teman untuk saling mendengar dan memahami.[3]

Syair Tentang Hikmat

Pasal 28 menceritakan dialog antara Ayub dan ketiga sahabatnya masuk jalan buntu dan mereka gagal menemukan hikmat yang menghubungkan mereka satu dengan yang lain dan membuka pengertian baru. Redaktur menempatkan di situ suatu syair yang mengatakan bahwa Allah sajalah yang mengenal jalan pada hikmat. Dengan demikian, ia membuka ruang untuk meneruskan kisah Ayub. Ada yang berpendapat bahwa pasal 28 merupakan syair Ayub.  Setelah Ayub bertemu dengan Allah dan menyadari bahwa baik ia sendiri maupun teman-teman berbicara dengan sombong, seakan-akan mengetahui segala sesuatu, maka ia dapat mengajak manusia belajar hidup dengan rendah hati di hadapan Allah dan sesama.

Pengaruh kebudayaan Mesir terasa dalam syair Dewi Maat menjaga tatanan dunia ciptaan dengan hikmat dan memelihara keadilan dalam masyarakat, sosok itu mempengaruhi pengertian hikmat di seluruh Timur tengah kuno. Orang Mesir terkenal untuk keahlian bertambang. Pertama-tama, diperlihatkan bahwa manusia pandai menciptakan teknologi untuk memperoleh apa saja yang ia inginkan. Punjangga menggunakan pertambangan sebagai contoh. Kedua, syair memperlihatkan bahwa manusia juga tahu bagaimana menggunakan bahan yang diperolehnya, entah dalam ekonomi dengan contoh pasar permata internasional ataupun dengan menggunakan permata dan emas sebagai lambing dalam ibadah. Akan tetapi, hikmat jauh lebih berharga daripada milik apa pun. Manusia tidak dapat menukar emas untuk memperolehnya; agama tidak memberikannya; samudera raya dan kebinasaan pun tidak mengenal dia, hanya Allah sendiri, Pencipta semesta, mengenal jalan padanya.

Nilai hikmat jauh melebihi nilai perak dan emas, serta segala macam permata dan mutiara. Manusia dapat membeli bahan berharga sebagai bahan hiasan di pasar internasional yang sangat digemari sejak zaman kuno itu, atau melihatnya dalam kuil dan ibadah. Manusia suka mengibahkan bahan berharga itu kepada kuil dan Bait Allah sebagai lambing. Demikian umpamanya krisolit yang biru dengan titik kuning melambangkan langit dengan bintang-bintang dan dipasang pada pakaian seremonial imam besar di Yerusalem.

Ayub Menuntut Jawaban

            Pada pasal 29-31, Ayub mengeluh kepada Allah seorang diri di hadapan-Nya. Setelah ketiga temannya berhenti berbicara, Ayub berdiri sendiri di hadapan Allah. Ia tidak lagi memohon kematian, tetapi pertemuan satu-satunya membuka jalan pada kehidupan. Ia tetap mengharapkan bahwa akan mengakui kebenarannya, tetapi ia pun terbuka pada jawaban yang berbeda. Ayub bertambah sadar bahwa dalam pembicaraan dengan para sahabatnya. Mereka mengajarkan bahwa penderitaan merupakan hukuman Allah atas kejahatan, kefasikan dan kecurangannya. Ayub makin sadar bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang begitu berat sehingga dapat mendatangkan penderitaan sepahit itu. ia menolak ajaran sebab-akibat yang mutlak dan tetap ingin mengenal arti penderitaannya. Untuk penghabisan kali Ayub berusaha tampil sebagai orang yang tak bersalah.

Elihu Angkat Bicara

            Ketiga teman tidak berhasil meyakinkan Ayub bahwa penderitaannya disebabkan oleh kesalahannya sendiri. Ayub tetap mempertahankan keyakinan bahwa ia hidup sebagai orang adil/benar. Elihu mengajarkan kepada Ayub, jangan selalu bertanya apa penyebabnya engkau enderita, tetapi demi tujuan apakah engkau susah. Jangan mencari arti masa lalu, tetapi pandanglah masa depan bila Allah akan datang. Dalam pasal 32:1-21 Elihu menguraikan apa sebabnya ia merasa wajib menambah pengetahuan yang diperolehnya untuk menolong Ayub dan mengembalikannya ke jalan yang benar. Dengan singkat padat ia memperkenalkan alasan tindakannya. Elihu mengatakan bahwa setiap orang yang menderita tidak akan ada perubahan jika bukan Allah yang menolongnya.

 

PENUTUP

[4]Pertemuan Ayub dengan Allah

            Permohonan dan harapan Ayub terkabul, Allah menjawab. Ia datang menemui Ayub. Allah menunjukan kuasanya dan kewibawaan-Nya dan melindungi manusia dari kemuliaan yang tak tertahankan itu. Ayub memandang Allah, tetapi kita tidak diberitahukan apa yang dilihatnya, hanya firman yang ia dengar. Firman itu sangat mengherankan di mana diharapkan bahwa Allah akan membenarkan Ayub dan menunjukan belas kasih kepada hamba-Nya yang menderita tanpa alasan. Allah memperkenalkan diri sebagai Pencipta dan pemelihara alam semesta. Jawaban ini sering menimbulkan kesan bahwa Allah memperhadapkan Ayub dengan kuasa-Nya yang mutlak, dan merendahkannya sebagai makhluk yang tidak berarti dan harus pasrah saja.

Epilog

            Bagian ini mengangkat akibat riwayat Ayub dengan Allah dan ketiga temannya sejak peristiwa yang diceritakan dalam prolog atau pembukaan. Para teman yang datang menghibur Ayub gagal, bahkan menimbulkan amarah Allah yang hanya dapat diredakan dengan pertolongan Ayub. Diakhir penderitaan Ayub justru Allah menunjukan kasih-Nya dengan memberkati Ayub, pemulihan Ayub terjadi dalam kisahnya. Allah memberkati Ayub dua kali lipat dari yang semula ia miliki, bahkan Ayub mempunyai keturunan yang baru, dimana putri-putri diutamakan.

 M. C. Barth, Ayub (Bergumul dengan penderitaan bergumul dengan Allah) (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2016)


[1] Orang yang takut akan Tuhan ternyata bisa juga mengalami penderitaan. Hal ini ditunjukan kepada Ayub, orang yang takut Tuhan, saleh. Tetapi mengalami penderitaan.

[2]Pencobaan yang dialami Ayub membuat dirinya menderita. (Orang percaya bukan hanya percaya tetapi ikut menderita).

[3]Ketika Ayub mengalami penderitaan, sahabat-sahabat dan isterinya menjatuhkan dia sehingga dia merasa tertekan dan mengutuk hari kelahirannya.

[4]Penderitaan datang untuk setiap orang yang mengalaminya lebih kenal kepada Tuhan.

Post a Comment

0 Comments