AYUB
Kisah
Ayub merupakan penjelasan bagaimana kehidupan manusia yang mengalami suatu
penderitaan. Dalam Tradisi Yahudi dan
Kristen, kisah Ayub mendorong pembahasan yang cukup mendalam dan rumit tentang
apa yang diistilahkan. Keadilan Tuhan yang menjadi sorotan dalam cerita ini,
karena orang yang takut kepada Tuhan mengalami cobaan yang begitu berat menimpa
kehidupan manusia. Sehingga menimbulkan banyak pertanyaan tentang kemahakuasaan
Allah. Namun pada dasarnya, setiap musibah yang dialami pasti Tuhan memberikan
jalan keluar kepada orang yang mengalaminya. Ketika Ayub bertahan dalam ujian
maka Tuhan angkat dan bawa kehidupan Ayub semakin naik. Beberapa orang
berpendapat tentang kisah Ayub adalah desain Tuhan, yang berarti bahwa sudah
ditentukan Tuhan sejak semula, kita harus paham segala yang diberikan Allah itu
baik. Jadi Allah tidak merencanakan yang buruk di dalam kehidupan manusia.
Setiap cobaan yang dialami Ayub menjadi dasar bagi orang percaya bahwa setiap
orang pasti mengalami cobaan, tetapi bagaimana orang percaya meresponi setiap
cobaan yang dialami dengan usaha yang dilakukan.
Kitab
Ayub menceritakan riwayat kehidupan seorang laki-laki yang makmur dan baik kelakuannya
tetapi mengalami pencobaan. Anak-anaknya mati, kedudukan dan harta bendanya
habis bahkan orang-orang disekitarnya menyalahkan dia, teramasuk istrinya.
Teman-teman Ayub berpandangan bahwa ayub melakukan kesalahan sehingga Allah
memberi hukuman. Tetapi Ayub terus bersikap sebagai orang yang bijaksana dan
selalu meminta pertolongan dari Allah, walaupun ia percaya kepada Tuhan kata
orang tetapi ia telah bertemu dengan dia. Ayubpun dihiburkan dalam pendamaian
dengan Allah dan ia dapat meneruskan damai sejahtera pada teman-teman dan
keluarganya. Cerita Ayub merupakan bagian kesusastraan sedunia sebagai karya
kuno yang setingkat dengan drama Yunani, atau karya termasyur dari Dante,
Shakespeare, Goethe, dan seterusnya. Cerita Ayub juga terdapat dalam agama
islam, ia disebut sebagai nabi dalam al-Quran. Bahkan dalam Surat Yakobus 5:11
menceritakan ketekunan Ayub dalam kehidupan yag dialaminya. Maka banyak orang
yang mengenal cerita Ayub karena kekuatannya dalam menghadapi pencobaan.
Sehingga kitab ini termasuk dalam karya kuno orang Yunani yang setingkat dengan
drama Yunani. Kitab Ayub merupakan pengalaman yang dialami Ayub yang
benar-benar terjadi, bukan dongeng. Kitab Ayub adalah karya yang memberi bentuk
sastra pada pengalaman yang dihayati banyak orang dan diperhadapkan pada
pembaca dalam bentuk cerita dan puisi. [1]
PEMBAHASAN
Ayub
takut akan Allah. Dalam bahasa Ibrani rumus ini berarti “merasa kagum dan
menghormati Allah”, orang yang takut akan Allah dalam kisah ini bukan sedang
takut atau ketakutan dan pasrah, tetapi merupakan pengakuan pada wibawa Allah. Ayub
memiliki anak-anak yang ingin menentukan hidupnya sendiri. Mereka biasa
mengadakan perjamuan dengan makan dan minum di ruah masing-masing. Ayub tidak
mau anak-anaknya menyakiti hati Allah. Bahkan ketika anaknya melakukan sesuatu
yag salah, tidak sesuai dengan apa ketetapan yang diberikan maka Ayub merasa
malu bahwa ia sendiri tidak mampu mendidik anak-anaknya sedemikian rupa agar
mereka menerima patokan hidupnya dan takut akan Allah serta menjauhi yang
jahat. Ayub sungguh takut bahwa anak-anak akan menderita jika mereka keluar
dari patokan yang ditentukan Allah.
Pencobaan yang di alami Ayub sangat
membuat ia menderita. Ayub ditimpa dengan barah yang busuk dari telapak kakinya
sampai ke bara kepalanya. Panas kering, panas dingin dirasakan melalui kulit.
Kulit melindungi otot-otot dari rasa dingin, kotoran dan sebagainya. Kulit
merupakan batas antara saya dan yang lain. Penyakit kulit yang dialami Ayub
sangat mengganggu, menimbulkan rasa gatal, sakit, terlihat jelek dan
menghindarkan ketenangan siang dan malam. Ayub merasa tersiksa. Lalu Ayub
mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya sambil duduk di tempat
abu-abu. Sesuai adat pada saat itu, ia dibawa keluar rumah agar tidak menyakiti
yang lain. Ia diantar ke tempat di mana masyarakat membawa abu. Di situ ia diberikan
pelayanan seperlunya. Ayub tidak mengatakan apa pun juga. Ia bungkam dalam
penderitaannya.[2]
Ketika Ayub sedang mengalami
penderitaan yang begitu berat dalam kehidupan manusia, orang terdekat dengan
dia sekalipun (istrinya) menjatuhkan dia, malah menyuruh untuk mengutuki Allah
yang Ayub sembah. Betapa sakit hatinya Ayub ketika mendengar perkataan yang
istrinya berikan. Secara kemanusiawian Ayub merasakan tekanan dari dalam dan
dari luar yang begitu parah. Saat istrinya mengatakan hal yang membuat Ayub
jatuh, Ayub tetap percaya kepada Allah dan tidak meninggalkan Allah karena
perkataan istrinya itu. Bahkan Ayub menanggapi perkataan isterinya dengan
mengatakan bahwa perkataan isterinya seperti perempuan gila, maksudnya ialah
seperti orang yang tidak mengenal Allah. Memang mereka sama-sama mengalami
penderitaan karena telah kehilangan anak-anaknya dan harta bendanya tetapi Ayub
tetap bertahan dalam pencobaan yang ia alami tidak seperti isterinya yang
meninggalkan Allah.
Selain tekanan dari isteri, Ayub pun
mengalami tekanan dari teman-temannya juga. Ketika teman-teman terdekatnya
mendengar kabar tentang segala malapetaka yang menimpa dia, maka datanglah
mereka dari tempatnya masing-masing. Elifas datang dari Teman di Moab, di
sebelah timur Laut Mati (Kej.39:39; Yes.48:20). Bildad datang dari kota Suah,
yang terletak di tepi Sungai Eufrat, dan Zofar datang dari kota Naamah yang
terletak di Lereng Gunung Lebanon di jalan di antara Beirut dan Damsyik. Di
hadapan kesusahan yang menimpa dia, Ayub tidak melihat jalan keluar selain
maut, teman-teman atau sahabat Ayub justru malah memojokan dia untuk semakin
membuat Ayub tertekan. Ayub menyebut kenyataan penderitaan secara yang
mengerikan dengan rasa sakit dan dengan kiasan yang kuat ia melukiskan apa yang
dialami.
Ketiga sahabat membicarakan arti
kesusahan yang diderita Ayub. Pengertian para sahabat dan Ayub terlalu besar
bedanya dan berlangsung di tingkat berpikir yang lain. Para sahabat meneruskan
ajaran hikmat dan Ayub bergumul dengan penderitaan yang menimpa dia dari pihak
Allah dan menimbulkan persoalan baru. Pembicaraan yang mulai dengan sopan santun
menjadi makin tajam dan agresif, dan akhirnya ternyata gagal. Para sahabat
mirip satu dengan yang lain, namun masing-masing mempunyai tekanan sendiri dan
mewakili suatu aliran pemikiran. Demikian Elifas yakin bahwa tiap tindakan
berakibat sehingga perlu ditanyakan apa sebabnya timbul situasi kekinian.
Khususnya tiap penderitaan membuktikan bahwa telah terjadi kesalahan, tetapi
Alla mengenal kelamahan manusia dan rela mengampuni orang yang bertobat,
mengaku salah dan rela mencari yang baik.
Babak Pertama
Elifas
menasihati (pasal 4) sebagai orang yang terkemuka, Elifas ingin menolong
sahabatnya dan mengetahui apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi segala
susahnya. Ia sadar bahwa harus dipilih perkataan dengan bijaksana. Elifas meminnta
izin bicara dan mengingatkan Ayub bahwa dahulu dialah yang menasihati orang
sengsara. Ayub tidak pernah meminta hadiah atau dukungan dari siapapun, tetapi
ia ingin mengetahui mengapa ia dipersalahkan. Karena sesungguhnya ia tidak
sadar apa alasan celaan itu, maka ia mengharapkan perkataan tepat dan jujur,
yang menjawab pertanyaan yang lebih menyakitkan daripada penyakit itu sendiri.
Seandainya Allah tidak segera menjawab keluhan Ayub, maka kesempatan akan
hilang karena di dalam maut tidaklah orang ingat kepada Allah (Mzm 6:6) Ayub
bingung sehingga dia mengatakan apakah
gerangan manusia, sehingga dia Kau anggap agung dan Kauperhatikan, dan
kaudatangi setiap pagi,dan Kauuji setiap saat? (7:17-18). Tetapi walaupun
ia menderita ayub tetap mempertahankan identitasnya sebagai orang benar
dihadapan Allah.
Bildad pun ingin menolong Ayub,
tetapi ia memandang keluh kesah dan keyakinan Ayub sebagai angin timur dari
gurun yang sangat panas dan berbahaya untuk ladang dan manusia. Bildad memahami
tatanan alam semesta dan dengan kebenaran/keadilan, ia memahami hubungan yang
benar antara segala makhluk ciptaan itu dan apa yang kita sebut “masyarakat
yang adil”. Daripada meragukan sikap Allah. Demikian pula tradisi menjadi
syarat agar kehidupan dapat berkembang. Kepribadian orang dapat ditentukan oleh
adat dan tradisi budaya yang diwarisinya dari leluhur. Bagi Bildad usaha Ayub
untuk mengerti apa sebabnya ia ditimpa penderitaan itu hanya menimbulkan
perasaan negatif dan ia menempatkan Ayub di antara orang sombong yang merasa
diri lebih pandai daripada Allah.
Babak Kedua
Elifas
dan kedua teman datang mengunjungi Ayub untuk menolong dia dalam penderitaannya.
Mereka ingin mengantarkan dia pada hidup yang sejahtera lagi. Mereka datang
sebagai orang yang berhikmat yang telah mempelajari etika, agama, peminaan
orang dewasa. Mereka berpengalaman menasihati orang dalam berbagai-bagai
persoalan serta mengatarkan mereka mengatasi kesulitannya. Mereka mengalimatkan
nasihat mereka dengan indah, secara yang meyakinkan, dan patut didengar. Mereka
hanya punya satu kelemahan: mereka sudah tahu, mereka tidak perlu mendengar
orang dan memperhatikan persoalan mereka karena mereka berbicara atas nama
Hikmat yang sempurna. Pada masa kini, ada juga orang yang merasa “sudah tahu”
berdasarkan pernyataan ilahi atau ideology yang diyakini. Ayub menderita dan
ingin mengetahui apa sebabnya. Ia menolak jawaban tradisional yang tidak
kena-mengena dengan pengalamannya, khususnya ajaran bahwa pederitaan selalu
merupakan akibat kesalahan. Bukankah ia “menghindari yang jahat” dan berusaha
membuat yang benar dan adil. Ia bergumul dengan Allah untuk meminta jawaban
langsung kepada-Nya
Babak Ketiga
Pembicaraan dalam babak ketiga ini
membahas tentang orang yang saling menuduh dan mencurigai, namun tetap
berbicara, mereka hanya dapat mengulang-ulang yang telah dikatakan mereka.
Tidak jelas lagi siapa mengangkat suara, semua mau menegaskan pandangan dan
pembicaraan menjadi makin kabur dan suram dari sudut pandang formal. Timbul
juga suatu persoalan hakiki: Elifas yakni bahwa ia menyampaikan hiburan Allah
(15:11) yang berwibawa mutlak. Ayub mendengar perkataan seorang manusia yang
menganut suatu pandangan tertentu dan yang tidak berhubungan dengan situasi
pribadinya atau kenyataannya. Tetapi Ayub menolak pengajarannya dan tetap
mementingkan diri sendiri sebagai korban ketidakadilan Allah. Hal itu
keterlaluan dan ia harus disadarkan. Elifas melihat dalam penderitaan Ayub
bukti kesalahannya dan melukiskan kejahatan berdasarkan ajaran tradisional
tanpa hubungan dengan teman yang di hadapannya.
Akhir Dialog
Dalam
pasal terakhir dari dialogi, babk ketiga tidak jelas lagi siapa yang berbicara.
Ayub mengulang inti pembelaan terhadap teori teman-temannya: aku adil/benar dan
tidak pernah melakukan kecurangan (27:1-6). Tidak jelas siapa menuduh lawannya
dalam ayat 7-10. Dalam ayat 11-12, seorang berhikmat hendak mengajarkan makna
kuasa Allah, tetapi perkataannya hanya merupakan suatu fragmen. Ayat 13-23
menyampakan ajaran hikmat tradisional tentang nasib orang jahat dan mungkin
dapat dilihat sebagai piadato ketiga dari Zofar. Ayub menolak teori teman-teman
bahwa kesalahannya sendiri mendatangkan hukuman penderitaan atas dirinya. Ia
tidak mengatakan bahwa ia tak berdosa, tetapi bahwa ia senantiasa berusaha
bertindak secara adil dan benar. Kebenaranku
ku pegang teguh dan tidak kulepaskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada
umurku (27:6). Memang terdapat manusiayang hidup sesuai dengan keyakinannya
dan tidak merasa malu atas tindakan mana pun yang ia lakukan sekalipun ia
menyadari keterbatasan usahanya. 27:13-23 mengangkat sekali lagi nasib orang
fasik menurut hikmat tradisional. Berbeda dengan kedua babak pertama, Ayub
tidak memberikan jawaban. Ternyata, suasana tidak mengizinkan lagi para teman
untuk saling mendengar dan memahami.[3]
Syair Tentang Hikmat
Pasal
28 menceritakan dialog antara Ayub dan ketiga sahabatnya masuk jalan buntu dan
mereka gagal menemukan hikmat yang menghubungkan mereka satu dengan yang lain
dan membuka pengertian baru. Redaktur menempatkan di situ suatu syair yang
mengatakan bahwa Allah sajalah yang mengenal jalan pada hikmat. Dengan
demikian, ia membuka ruang untuk meneruskan kisah Ayub. Ada yang berpendapat
bahwa pasal 28 merupakan syair Ayub.
Setelah Ayub bertemu dengan Allah dan menyadari bahwa baik ia sendiri
maupun teman-teman berbicara dengan sombong, seakan-akan mengetahui segala
sesuatu, maka ia dapat mengajak manusia belajar hidup dengan rendah hati di
hadapan Allah dan sesama.
Pengaruh
kebudayaan Mesir terasa dalam syair Dewi Maat menjaga tatanan dunia ciptaan
dengan hikmat dan memelihara keadilan dalam masyarakat, sosok itu mempengaruhi
pengertian hikmat di seluruh Timur tengah kuno. Orang Mesir terkenal untuk
keahlian bertambang. Pertama-tama, diperlihatkan bahwa manusia pandai
menciptakan teknologi untuk memperoleh apa saja yang ia inginkan. Punjangga
menggunakan pertambangan sebagai contoh. Kedua, syair memperlihatkan bahwa
manusia juga tahu bagaimana menggunakan bahan yang diperolehnya, entah dalam
ekonomi dengan contoh pasar permata internasional ataupun dengan menggunakan
permata dan emas sebagai lambing dalam ibadah. Akan tetapi, hikmat jauh lebih
berharga daripada milik apa pun. Manusia tidak dapat menukar emas untuk
memperolehnya; agama tidak memberikannya; samudera raya dan kebinasaan pun
tidak mengenal dia, hanya Allah sendiri, Pencipta semesta, mengenal jalan
padanya.
Nilai
hikmat jauh melebihi nilai perak dan emas, serta segala macam permata dan
mutiara. Manusia dapat membeli bahan berharga sebagai bahan hiasan di pasar
internasional yang sangat digemari sejak zaman kuno itu, atau melihatnya dalam
kuil dan ibadah. Manusia suka mengibahkan bahan berharga itu kepada kuil dan
Bait Allah sebagai lambing. Demikian umpamanya krisolit yang biru dengan titik
kuning melambangkan langit dengan bintang-bintang dan dipasang pada pakaian
seremonial imam besar di Yerusalem.
Ayub Menuntut Jawaban
Pada pasal 29-31, Ayub mengeluh
kepada Allah seorang diri di hadapan-Nya. Setelah ketiga temannya berhenti
berbicara, Ayub berdiri sendiri di hadapan Allah. Ia tidak lagi memohon
kematian, tetapi pertemuan satu-satunya membuka jalan pada kehidupan. Ia tetap
mengharapkan bahwa akan mengakui kebenarannya, tetapi ia pun terbuka pada
jawaban yang berbeda. Ayub bertambah sadar bahwa dalam pembicaraan dengan para
sahabatnya. Mereka mengajarkan bahwa penderitaan merupakan hukuman Allah atas
kejahatan, kefasikan dan kecurangannya. Ayub makin sadar bahwa ia tidak
melakukan kesalahan yang begitu berat sehingga dapat mendatangkan penderitaan
sepahit itu. ia menolak ajaran sebab-akibat yang mutlak dan tetap ingin
mengenal arti penderitaannya. Untuk penghabisan kali Ayub berusaha tampil sebagai
orang yang tak bersalah.
Elihu Angkat Bicara
Ketiga
teman tidak berhasil meyakinkan Ayub bahwa penderitaannya disebabkan oleh
kesalahannya sendiri. Ayub tetap mempertahankan keyakinan bahwa ia hidup
sebagai orang adil/benar. Elihu mengajarkan kepada Ayub, jangan selalu bertanya
apa penyebabnya engkau enderita, tetapi demi tujuan apakah engkau susah. Jangan
mencari arti masa lalu, tetapi pandanglah masa depan bila Allah akan datang.
Dalam pasal 32:1-21 Elihu menguraikan apa sebabnya ia merasa wajib menambah
pengetahuan yang diperolehnya untuk menolong Ayub dan mengembalikannya ke jalan
yang benar. Dengan singkat padat ia memperkenalkan alasan tindakannya. Elihu
mengatakan bahwa setiap orang yang menderita tidak akan ada perubahan jika
bukan Allah yang menolongnya.
PENUTUP
[4]Pertemuan Ayub dengan Allah
Permohonan
dan harapan Ayub terkabul, Allah menjawab. Ia datang menemui Ayub. Allah
menunjukan kuasanya dan kewibawaan-Nya dan melindungi manusia dari kemuliaan
yang tak tertahankan itu. Ayub memandang Allah, tetapi kita tidak diberitahukan
apa yang dilihatnya, hanya firman yang ia dengar. Firman itu sangat
mengherankan di mana diharapkan bahwa Allah akan membenarkan Ayub dan
menunjukan belas kasih kepada hamba-Nya yang menderita tanpa alasan. Allah
memperkenalkan diri sebagai Pencipta dan pemelihara alam semesta. Jawaban ini
sering menimbulkan kesan bahwa Allah memperhadapkan Ayub dengan kuasa-Nya yang
mutlak, dan merendahkannya sebagai makhluk yang tidak berarti dan harus pasrah
saja.
Epilog
Bagian
ini mengangkat akibat riwayat Ayub dengan Allah dan ketiga temannya sejak
peristiwa yang diceritakan dalam prolog atau pembukaan. Para teman yang datang
menghibur Ayub gagal, bahkan menimbulkan amarah Allah yang hanya dapat
diredakan dengan pertolongan Ayub. Diakhir penderitaan Ayub justru Allah
menunjukan kasih-Nya dengan memberkati Ayub, pemulihan Ayub terjadi dalam
kisahnya. Allah memberkati Ayub dua kali lipat dari yang semula ia miliki,
bahkan Ayub mempunyai keturunan yang baru, dimana putri-putri diutamakan.
M. C. Barth, Ayub (Bergumul dengan penderitaan bergumul dengan Allah) (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2016)
[1]
Orang yang takut akan Tuhan ternyata bisa
juga mengalami penderitaan. Hal ini ditunjukan kepada Ayub, orang yang takut
Tuhan, saleh. Tetapi mengalami penderitaan.
[2]Pencobaan yang dialami Ayub membuat dirinya
menderita. (Orang percaya bukan hanya percaya tetapi ikut menderita).
[3]Ketika
Ayub mengalami penderitaan, sahabat-sahabat dan isterinya menjatuhkan dia sehingga
dia merasa tertekan dan mengutuk hari kelahirannya.
[4]Penderitaan datang untuk setiap orang yang
mengalaminya lebih kenal kepada Tuhan.
0 Comments