Sebagai seorang Farisi yang mencintai Hukum Taurat, Saulus penuh dengan semangat. Tanpa kesombongan ia bisa memberi kesaksian tentang dirinya, "[aku] disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat" (Flp 3:5-6). Semula ia menjadi penganiaya para pengikut Yesus karena dia yakin bahwa ajaran Yesus sesat. Namun, Allah mempunyai rencana khusus baginya. Ketika ia sedang menuju ke Damsyik untuk mengejar orang-orang kristen, ada cahaya yang terang benderang meliputi dirinya dan ia mendengar suara Yesus yang menyatakan diri kepadanya (Kis 9:5; 22:6-16; 26:12-18). Sejak perjumpaan tersebut Paulus berubah secara total. Dari seorang musuh be-sar ia menjadi pengikut Yesus, bahkan rasul besar-Nya. Paulus sadar bahwa orang disela-matkan bukan karena melakukan Hukum Taurat tetapi "oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma‑cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus" (Rm 3:14), berkat iman kepada Yesus Kristus dan Injil-Nya (Flp 3:9; Rm 1:16-17). Dari sebab itu, apa yang dulu amat dia banggakan dan dia hargai, yaitu Hukum Taurat, kini tidak berarti lagi (bdk. Flp 3:8).
Spiritualitas Paulus dapat dirumuskan secara
singkat sebagai berikut. Dia menyadari betapa besar kasih Allah lewat Yesus.
Dalam Rm 8:32, ia berkata, "Ia,
yang tidak menya-yangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi
kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada
kita bersama-sama dengan Dia?" Juga dalam Rm 5:8 ia berkata, "Akan
tetapi Allah menunjukkan kasihnya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati
untuk kita, ketika kita masih berdosa." Masih satu lagi ayat yang penting:
"Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh
iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk
aku" (Gal 2:20).
Rasa
syukur yang mendalam telah mendorong Paulus untuk membalas cinta Allah. Untuk
itu dia menghabiskan sisa hidupnya bagi pewartaan Injil. Ia rela mengalami
banyak penderitaan demi Injil (bdk. 2 Kor 6:4-10). Ia berseru, "Celakalah
aku, jika aku tidak memberitakan Injil" (1 Kor 9:16). Dari sebab itu ia
mengadakan perjalanan-perjalanan panjang, belasan ribu kilometer, yang penuh
dengan bahaya, untuk mewartakan Injil.
Ia menganggap diri hamba Yesus Kristus (Rm 1:1) yang
harus mengabdikan seluruh diri untuk-Nya.
Cinta
kasih Allah tidak hanya nyata dari pengutusan Anak-Nya ke dunia, melainkan juga
dengan pencurahan Roh Kudus: "Kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati
kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita" (Rm 5:5). Roh
inilah yang menjadikan kita anak Allah dan yang membimbing kehidupan kita. Roh
Kudus inilah yang pada akhir zaman akan membangkitkan tubuh kita yang fana (Rm
8).
Hidup
Paulus berarti hidup dalam Yesus Kristus, "Aku hidup,
tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam
aku" (Gal 2:20). Bagi dia hidup adalah untuk Kristus (bdk. Flp 1:21). Ia
memiliki pikiran Kristus (1 Kor 2:16). Bahkan tujuan hidup Paulus adalah diubah
menjadi seperti Kristus sebab memang itulah rencana Allah sejak semula (Rm
8:29, "Sebab semua orang
yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk
menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu,
menjadi yang sulung di antara banyak saudara").
0 Comments