Header

Kurban Dalam Perjanjian lama dan Relevansinya Saat Ini - Perbandingan Kurban Agama Islam dan Hindu - Studi Perbandingan Agama

 


KURBAN DALAM PERJANJIAN LAMA”

Disusun Oleh:

Rizky Arya Susanto

Samuel R.S. Batubara 

Vivi Alida Zebua 


Latar Belakang Masalah

Alkitab adalah firman Allah tanpa salah. Yang dimaksud Alkitab adalah firman Allah tanpa salah adalah 66 kitab yang telah dikanon. Secara garis besar Alkitab dibagi menjadi dua bagian, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Menurut Abraham Park dalam buku sejarah penebusan seri yang ke-2, Perjanjian Lama merupakan sebuah perjanjian mengenai Yesus Kristus yang akan datang sedangkan Perjanjian Baru merupakan sebuah penggenapan mengenai Yesus Kristus yang telah datang sebagai Juruselamat serta merupakan janji mengenai Dia yang akan datang kembali yang kedua kalinya (Kis. 1:11, Why. 1:7).[1] Menurut Evendy Tobing dalam bukunya yang berjudul “Teologi Perjanjian Lama” mengatakan bahwa Perjanjian Lama tidak dapat dipisahkan dengan Perjanjian Baru karena Perjanjian Lama bagian terbesar dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Baru.[2]

Perjanjian Lama (secara khusus kitab Kejadian) mencatat seluruh asal-usul dunia ini. Dalam bahasa Ibrani judul kitab Kejadian disebut  בְּרֵאשִׁית  beresyit” yang berarti pada mulanya, kata tersebut sesuai dengan kata pembuka dalam kitab Kejadian. Salah satu yang menjadi pokok penting dalam kitab Kejadian yaitu membahas mengenai kurban. Dalam Perjanjian Lama (secara khusus kitab Kejadian), kata kurban muncul pertama kali ketika Kain dan Habel memberi persembahannya kepada Tuhan (Kej. 4:1-16). Persembahan yang diberikan Kain tidak diindahkan oleh Tuhan, sehingga Kain sakit hati dan membunuh Habel adiknya.[3] Namun secara implisit kurban pertama kali muncul dalam Kejadian 3, dimulai dengan janji tentang “Keturunan Perempuan” ketika kejatuhan Adam dan Hawa (Kej. 3:15). Setelah memberikan janji tersebut kemudian Allah membuat pakaian dari kulit binatang (Kej. 3:21). Hal kulit binatang yang digunakan untuk membuat pakaian menunjukan bahwa binatang mencurahkan darah dan mati, akibat dosa manusia. Hal tersebut merupakan gambaran dari Yesus Kristus yang tidak ada dosa, mengalirkan darah dan mati dikayu salib sebagai penebus dosa manusia (Yoh. 1:29; 1Kor. 5:7; Why. 5:6).[4] Dengan demikian penulis akan membahas lebih jauh mengenai kurban dalam Perjanjian Lama serta relevansinya dalam Perjanjian Baru mengenai kurban Kristus sebagai Kurban yang sempurna.

Pengertian Kurban

            Kurban merupakan suatu hal yang dipersembahkan kepada Allah. Menurut kebudayaan Yahudi kurban berkaitan erat dengan dosa atau pelanggaran-pelanggaran yang memerlukan penebusan. Biasanya binatang (sebagai tanda atau bayangan) yang menjadi kurban untuk menggantikan dosa manusia yang telah melakukan pelanggaran. Dalam Perjanjian Baru kurban menjadi pokok penting karena menjelaskan tentang penggenap dari kurban dalam Perjanjian Lama. Kurban dalam Perjanjian Baru dapat dilihat melalui kematian Kristus dikayu salib untuk menebus setiap manusia dari dosa.[5] Kata kurban atau korban selaras dengan kata persembahan, kurban merupakan sesuatu yang dipersembahakan dan persembahan merupakan bentuk dari kurban tersebut. Secara esensi kurban persembahan merupakan pemberian kepada Allah sebagai penebusan terhadap dosa yang dilakukan.[6] Hal tersebut jelas tidak dapat dilakukan oleh manusia, karena Allah itu kudus dan manusia telah berdosa. Maka karena itu, Allah yang memberikan solusi atau jalan keluar bagi manusia untuk manusia kembali memiliki relasi dengan Allah.

 

Asal Usul dan Tujuan Kurban Dalam Perjanjian Lama

Kurban Zaman Adam dan Hawa      

Kitab Kejadian mencatat bahwa “manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Kitaבְּצַלְמֵנוּ כִּדְמוּתֵנוּ  besalmenu kidmutenu dalam bahasa Ibrani tidak menggunakan kata sambung diantara kedua kata “gambar” dan “rupa”. Hal tersebut berarti menjelaskan manusia memiliki isi yang sama meskipun dalam bentuk yang berbeda. Manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 5:1, 9:6) memiliki maksud bahwa Gambar Allah “image” atau dalam bahasa Ibrani “selem”. Kata ini menunjukan simbol atau gambaran besar atau garis besarnya. Dengan kata lain hal ini menunjuk pada tiruan (replica) atau representasi (emblem) dari satu wujud asli.[7]

Kemudian Allah menempatkan manusia yang diciptakan-Nya itu di Taman Eden dengan dua pekerjaan yang harus dilakukan dan perintah larangan. Kedua perintah tersebut adalah mengusahakan dan memelihara taman Eden (Kej. 2:15) sedangkan perintah larangan yang harus dijaga manusia yaitu tidak boleh memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej. 2:16-17). Perintah larangan tersebut merupakan penyataan Allah kepada manusia untuk mengetahui bahwa meskipun manusia segambar dan serupa dengan Allah dan memiliki otoritas penuh dari segala ciptaan yang ada, bukan berarti manusia adalah Allah. Sebab hanya Allah Pencipta langit dan bumi saja yang memiliki otoritas penuh yang melebihi manusia sebagai makhluk ciptaan.[8] Namun Adam dan Hawa tidak menaati Firman, tidak percaya, dan sombong sehingga manusia pertama tersebut kehilangan kekuatan untuk menaklukkan dan menguasai dunia. Manusia yang seharusnya diciptakan Allah dapat membangun relasi secara langsung dengan Allah sehingga memperoleh hidup kekal (Pkh. 3:11), tetapi akibat dosa membuat status manusia berubah menjadi makhluk yang tidak bisa mengelak dari kematian. Manusia menjadi berada dibawah kendali Iblis dan dikuasainya, sehingga murka Allah turun kepada manusia (Ef. 2:2-3).[9]

Dalam Perjanjian Lama hukum yang ditetapkan merupakan hukum yang sangat menakutkan bagi para pembaca dewasa ini. Dimana hukum dalam Perjanjian Lama mengatakan: “nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki”. Itulah yang harus dilaksanakan dalam Perjanjian Lama. Melanggar ketetapan Allah akan mendapatkan hukuman. Penerapan tersebut dimulai sejak zaman Adam dan Hawa ketika pasangan tersebut melakukan pelanggaran. Keberdosaan Adam dan Hawa dimulai ketika memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Hal itu membuat keduanya telanjang dan kehilangan jubah kemuliaan Allah. Jubah kemuliaan yang dipakainya telah lenyap sehingga mereka bersembunyi dari hadapan Allah karena keduanya sangat takut akan kematian. Kematian tersebut adalah konsekuensi terhadap hukum Allah. Adam dan Hawa berusaha bersembunyi dan berusaha menutupi ketelanjangan tubunya dengan daun-daunan pohon ara untuk mencegah ketakutan dan rasa malu. Namun usaha untuk menutupi tubuhnya  ternyata sama sekali tidaklah layak menurut cara pandang Allah.[10]

8Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk, bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara pohon-pohonan dalam taman. 9Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?" 10Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."  (Kej. 3:8-10 ITB).

Oleh karena kasih dan kemurhan-Nya, Allah mengambil kulit binatang untuk menutpi tubuh Adam dan Hawa.

Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka (Kej. 3:21 ITB).

Menurut  Harold Victor L., binatang yang diambil kulitnya pasti ada darah yang dicurahkan. Dengan adanya kulit binatang (yang harus disembelih) yang dijadikan pakaian untuk membungkus tubuh Adam dan Hawa, maka keduanya dapat menutupi rasa malunya, sehingga keduanya dapat berkomunikasi dan membangun relasi lagi dengan Allah. Jadi, pencurahan darah binatang merupakan jalan satu-satunya untuk manusia mengalami pendamian dengan Allah.[11]

Kata yang digunakan dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan sebagai “pakaian” untuk ayat diatas yaitu: כֻּתֹּנֶת – KUTONET, yang bermakna “baju dalam” untuk menutupi tubuh karena rasa malu, sebab auratnya kelihatan. Bahasa Ibrani Modern kata כֻּתֹּנֶת – KUTONET dapat diartikan juga sebagai “baju dalaman, atau juga shirt atau kemeja sebelum menggunakan jacket/ jas. Namun, kata tersebut lebih sering digunakan dalam artian kemeja. Pakaian dari kulit ini diambil dari binatang yang harus mati untuk diambil kulitnya, yang kemudian dipakai untuk menutupi ketelanjangan Adam.[12]

Upah Dosa Adalah Maut

            “Janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej. 2:17). Hal tersebut merupakan pernyataan Allah yang pertama mengenai konsekuensi yang harus manusia terima pada saat melanggar ketetapan yang Allah telah berikan kepadanya. Ketika Adam dan Hawa pertama kali jatuh ke dalam dosa, pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa Allah tidak berkompromi dengan dosa sehingga Adam dan Hawa menerima resiko akibat perbuatannya. Kedua orang tersebut terusir dari Taman Eden dan tidak dapat bergaul dengan Allah secara langsung seperti sebelumnya. Ada gap yang memisahkan antara Allah dengan manusia yang telah berdosa. Dampak yang diterimanya setelah jatuh alam dosa yaitu: Pertama, Penderitaan (Kej. 3:16). Kedua, Susah payah (Kej. 3:17). Ketiga, Kematian (Kej. 3:19).[13]

            Konsekuensi ketiga bagi manusia adalah: “kematian” yang merupakan konsekuensi terberat bagi manusia. Alkitab memberi informasi kepada pembaca saat ini bahwa oleh karena dosa manusia, semua manusia tunduk kepada kematian, dan konsekuensi tersebut bukan hanya kematian badani saja, melainkan juga kematian kekal, seperti kematian kedua atau kebinasaan abadi. Hal tersebut telah dinyatakan sejak dari mulanya dalam kitab Kej. 2:16-17. Hal tersebut juga dikutip oleh Rasul Paulus dalam Rm. 6:23a yang merupakan hasil dari “midrasih” (study komparatif) yang dipelajari oleh rasul Paulus sejak kejatuhan manusia dalam dosa. Dimana inisiatif Allah untuk menutupi rasa malu Adam sehingga memberikan “pakaian” dari kulit binatang. Ini merupakan typology dari “penutupan dosa” yang akan digenapi oleh Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru sebagai kurban persembahan yang tidak bercacat.[14]

            Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Paskalis Edwin I Nyoman Paska dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Sumber Dosa?”

Ketelanjangan dalam Alkitab menunjukan apa artinya menjadi seorang yang diciptakan, yakni memiliki kelemahan dan keterbatasan. Manusia rapuh, terbatas oleh ruang dan waktu. Semua itu berubah menjadi sesuatu yang memalukan karena dosa. Allah membuat pakaian dari kulit binatang, simbol anugerah keselamatan untuk manusia (Kej. 3:21). [15]

Dengan demikian adanya binatang yang dikurbankan dan kulitnya dijadikan penutup bagi aurat Adam merupakan satu penggambaran secara tipologis yang pertama kalinya dari Allah, tentang darah yang sempurna dari Tuhan Yesus Kristus sebagai Mesias. Dan peristiwa tersebut dipakai sebagai ritual Hukum Taurat sebagai ketentuan penghapus dosa dan darah.[16]

 

Kurban Sebagai Respon Manusia

Zaman Kain dan Habel

Akibat dosa manusia, akhirnya Tuhan mengusir manusia dari Taman Eden. Dosa yang dilakukan oleh manusia semakin lama menjadi meluas dan mendalam. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 4 yang menceritakan pembunuhan pertama dalam sejarah dunia.

Adam dan Hawa memiliki anak yang bernama Kain dan Habel. Alkitab mencatat bahwa kedua kakak beradik itu melakukan pekerjaan yang berlainan. Kain menjadi petani sedangkan Habel menjadi gembala yang memeliharan domba dan kambing. Kemudian keduanya membawa hasil pekerjaannya untuk dikorbankan kepada Tuhan. Kain membawa hasil tenaganya: hasil bumi, sedangkan Habel mempersembahkan anak sulung kambing dombanya dengan lemak binatang itu, karena inilah bagian yang terbaik dari binatang yang dikorbankan.

Disini terlihat perbedaan kurban persembahan yang diberikan oleh kedua kakak beradik tersebut. Alkitab mencatat bahwa persembahan Kain tidak diindahkan-Nya, sedangkan persembahan Habel diterima-Nya. Menurut F. L. Baker dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Kerajaan Allah 1”  mencatat bahwa persembahan Kain ditolak-Nya bukan karena persembahan itu hasil bumi dan bukan hewan, dan persembahan Habel diterima-Nya juga bukanlah karena yang dikorbankan adalah korban berdarah, sebab Tuhan juga menerima persembahan makanan. Jadi bedanya bukan terletak pada keadaan korban yang telah diberikan oleh Kain dan Habel tersebut, melainkan pada keadaan batin seseorang yang mengorbankannya.[17]

            Setelah Allah tidak mengindahkan persembahan Kain, seharusnya respon yang diberikan Kain adalah bertobat dan menyadari dengan mempersembahkan kurban lagi kepada Allah. Namun respon yang diberikan Kain tidak terduga. Hatinya menjadi sangat panas dan mukanya muram dihadapan Allah (Kej. 4:5-6). Di ayat selanjutnya, Allah juga melihat bahwa dosa sangat menggoda Kain dan menasihatinya agar berkuasa atas dosa. Namun, Kain telah melewatkan kesempatan yang diberikan Allah untuk bertobat, justru Kain memukul dan membunuh Habel. Inilah pembunuhan pertama sepanjang sejarah yang dilakukan oleh Kain kepada Habel.[18]

            Allah memberi kesempatan lagi kepada Kain untuk bertobat. Dengan menggunakan pertanyaan seperti yang telah ditanyakan kepada Adam yang bersembunyi dari Allah “Di manakah engkau?” (Kej. 3:9), Allah bertanya juga kepada kain, “Di mana Habel, adikmu itu?” (Kej. 4:9). Allah bertanya seperti demikian bukan karena tidak tahu dimana Adam sedang bersembunyi. Demikian juga, bukan karena Allah tidak tahu apa yang terjadi dengan Habel. Allah memiliki maksud melalui pertanyaan tersebut supaya Kain bertobat dengan mengakui segala kesalahan yang telah diperbuatnya.[19] Esensi daripada pertobatan bukan hanya sebuah penyesalan tetapi mengalami keubahan hidup yang dimulai melalui pengakuan kepada Allah dan hal ini tidak dilihat pada diri Kain!

Zaman Nuh

            Dalam Kejadian 6 menjelaskan kejahatan manusia semakin bertambah, sangat parah sehingga Allah mendatangkan penghakiman atas bumi. Penghakiman ini sebagai hukuman Allah yang sangat menakutkan terhadap generasi yang hidup mengikuti kejahatan pada saat itu. Akan tetapi di tengah zaman yang penuh dengan kejahatan, Nuh mendapat kasih karunia di mata Allah (Kej. 6:8). Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa Nuh mendapatkan kasih karuni bukan berdasarkan karena hidupnya bergaul dengan Allah, hidupnya benar dan tidak bercela diantara orang sezamannya. Nuh mendapatkan kasih karunia supaya mampu berbuat baik kepada setiap manusia. Namun sangat ironis, bahwa penginjilan yang Nuh lakukan kepada orang banyak tidak mendatangkan respon yang baik dari manusia sezamannya sehingga pada saat penghakiman atau hukuman Allah datang melalui Air Bah, semua orang binasa kecuali keluarga Nuh. Setelah Air Bah itu surut, Nuh mendirikan mezbah bagi Tuhan (Kej. 8:20). Mezbah yang didirikan oleh Nuh untuk mempersembahkan kurban bakaran bukan agar Nuh diselamatkan, tetapi sebagai respon yang diberikan Nuh, bahwa dirinya mendapatkan kasih karunia sehingga diselamatkan dari hukuman Allah.

Zaman Keimamatan

Bapa Leluhur memandang persembahan kurban merupakan sebuah bentuk pernyataan rasa hormat pribadi kepada Allah, juga merupakan pengekspresian ibadat pribadi (bukan partisipasi) dalam suatu budaya yang sudah resmi dan umum. Jadi bapa leluhur menyatakan rasa hormat terhadap Tuhan dengan cara-cara yang mirip dengan cara masyarakat disekitarnya yaitu dengan upacara kurban. Alasan yang signifikan ketika bapa leluhur mempersembahkan kurban yaitu ketika dikunjungi secara pribadi oleh Allah dalam bentuk oknum ilahi, bentuk malaikat atau dalam bentuk mimpi dan juga ketika bapa Leluhur ingin memanggil nama Tuhan serta menghadap kepada-Nya dalam ibadat.[20]

Kurban merupakan istilah yang tidak asing dalam Perjanjian Lama, terlebih ketika membaca kitab Imamat. Banyak orang yang menganggap bahwa kitab Imamat adalah kitab yang kurang menarik dan sukar untuk dipahami, sehingga mendapat tanggapan tidak penting untuk dipelajarin dan diajarkan. Salah satu alasan kitab tersebut menjadi kurang menarik yaitu karena banyak membahas tentang persembahan kurban sebagai ketetapan untuk bangsa Israel lakukan. Persembahan kurban dianggap menjadi tidak penting bagi orang percaya dewasa ini, karena sudah digenapi oleh Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru.[21]

Menurut C. W Slemming mempersembahkan kurban dalam Perjanjian Lama merupakan sebuah bentuk pengungkapan bagi perjalanan hidup manusia dalam mengikuti Allah. Selain itu, kurban juga dapat menjadi peringatan hari-hari raya yang ditunjukan manusia kepada Allah sebagai perjalanan hidup manusia bersama dengan Allah untuk melewati pemisahan dari kefasikan.[22] Donald Guthrie mengatakan bahwa kurban merupakan sarana manusia untuk menghampiri Allah. Dalam sistem imamat, Lewi membawa lima jenis persembahan yang berbeda-beda seperti: Kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban penghapus dosa dank urban penebus salah. Masing-masing dari kurban tersebut memiliki tujuan khusus dalam membangun relasi dengan Allah. Allah melambangkan kurban sebagai syarat perjanjian yang hakiki (Im. 17:11). Persembahan kurban diberikan sebagai bentuk belas kasihan ilahi yang dimaksudkan untuk memampukan manusia untuk mendekati Allah bukan untuk mencegah pendekatan itu. Ahli-ahli telah menyodorkan banyak teori untuk menjelaskan fungsi kurban itu. Ada yang melihatnya sebagai pemberian, ada juga yang melihatnya sebagai persekutuan, dan yang lain memandangnya sebaai penyerahan hidup. [23]

Dengan demikian pembahasan kurban dalam Perjanjian Lama merupakan suatu hal yang penting untuk. Karena semua persembahan kurban, ritual, dan upacara dalam Perjanjian Lama merupakan bayangan dari Karya penyelamatan Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru.[24] Jadi kurban persembahan merupakan bentuk respon yang umat berikan kepada Allah karena bukan sebagai syarat untuk memperoleh keselamatan. Sebab keselamatan adalah pekerjaan Allah secara mutlak, tanpa campur tangan manusia sedikitpun.

 

Kurban Dalam Perjanjian Baru

Roma 3:24-25, Tetapi sekalipun semua manusia dalam keadaan dosa, namun pembenaran adalah cuma-cuma atau oleh kasih karunia. Kristus adalah pendamaian yang dikaruniakan oleh Tuhan dan harus diterima oleh iman. Darah Kristus adalah harga yang telah diterima dalam kemurahan hati Allah dan karena darah ini dosa-dosa manusia telah dihapus. Paulus menyebut dasar kebenaran dengan dua ungkapan yang khas: karena penebusan dalam Kristus Yesus dan Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Kata penebusan dalam bahasa Yunani disebut apolytrōsis yang berarti ‘kelepasan yang terjadi karena uang tebusan sudah dibayar, dari sini artinya ‘pembebasan’, ‘emansipasi’, atau ‘kelepasan’. Kata pemdamaian dalam bahasa Yunani yaitu hilasteriōn yang berasal dari kata kerja hilaskomai yang mempunyai tiga arti: melembutkan hati; atau mendamaikan seseorang; berbelaskasihan; atau membuat pendamaian. Perjanjian Baru memakai arti yang kedua dan ketiga (lih. Luk. 18:13 dan Yoh. 2:2).

Maksudnya bukan bahwa Allah yang murka dijadikan senang lagi oleh manusia yang berdosa, melainkan Allah yang berbelaskasihan membayar hukuman dosa dengan kematian Anak-Nya yang menebus. Walaupun demikian gagasan adanya murka yang adil terhadap dosa tidak hilang. Jadi, Kristus adalah alat untuk memberikan pembayaran bagi dosa dan pembayaran ini terjadi karena kematian Yesus karena darah-Nya lambang dari hidup yang dikorbankan (bnd. Kej. 9:4; Im. 17:11; Ul. 12:23). Jadi, terjemahan ‘oleh darah-Nya diterima oleh iman’.[25]

Korban-korban dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran yang membayangkan pengorbanan Kristus. Hampir dari setiap aspek dari arti kematian Kristus digambarkan sebelumnya. Pusat dari korban-korban itu yaitu penumpahan darah, yang memandang kepada pengorbanan Kristus. Penjelasan yang diberikan dalam Perjanjian Lama yaitu bahwasanya darah itu ditumpahkan untuk mengadakan pemdamaian, dalam Im. 7:11 menunjukkan typologi dari korban itu.[26]

Relevansi

YESUS

                              PL                                                                                 PB


Dalam Perjanjian Lama, kurban merupakan typology kurban Kristus yang akan datang, ketika umat Tuhan mempersembahkan persembahan Kurban, yang diperhitungan adalah imannya terhadapa perintah dan janji Allah kepada umat percaya pada saat itu. Jadi, kurban yang diberikan bukanlah sebuah syarat untuk manusia diselamatkan tetapi sebagai bentuk respon terhadap perintah dan janji Tuhan bagi umat manusia. Dalam Perjanjian Baru janji Allah digenapi Kristus, melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (Yoh. 3:16). Relevansi pengorbanan Kristus untuk orang percaya saat ini yaitu, setiap orang percaya saat ini beriman kepada Kristus yang pernah datang ke dunia sebagai penebus umat manusia. Orang percaya tidak perlu lagi mempersembahkan kurban seperti zaman Perjanjian Lama, karena hal tersebut telah digenapi melalui Kristus Yesus di kayu salib. 

Kurban Menurut Agama-Agama

Kurban dalam Agama Hindu

Kurban dalam agama Hindu disebut dengan istilah Yadnya atau Yajna. Yadnya bagi umat Hindu adalah sajian-sajian yang dipersembahkan dalam upacara keagamaan. Menurut Bagawad Gita, taat kepada agama di ekspresikan melalui upacara, tapabrata, dan sedekah yang semuanya dilaksanakan tanpa pamrih. Yang merupakan inti upacara keagamaan ini adalah persembahan yang disebut Yadnya. Seperti halnya tapabrata dan sedekah. Yadnya merupakan kewajiban hidup yang harus dilaksanakan penuh kasih sayang dan tanpa pamrih.[27]

Kata Yadnya apabila ditinjau secara etimologi ialah berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata yaj yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari akar kata itu timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan, yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus (sacral, retus, agama) dan Yajna (pemujaan, doa, persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.[28]

Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kurban dalam ibadah Hindu disebut dengan istilah Yadnya. Yadnya adalah suatu upacara keagamaan agama Hindu yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus ikhlas dengan tanpa pamrih. Ritual ini dilakukan dengan kesadaran bahwa Hyang Widhi menciptakan ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan berkurban. Oleh karena itu, untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan Yadnya (kurban), baik kepada Hyang Widhi maupun kepada sesama makhluk hidup yang akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.

Kurban dalam Agama Islam

Kata kurban secara bahasa berasal dari kata qaruba – yaqrabu – qurban – qurbanan yang berarti menghampirinya atau mendekatinya.[29] Sedangkan kurban dalam pengertian agama Islam ialah menyembelih binatang tertentu pada hari raya Haji dan hari-hari Tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara/syarat/syariah dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Alah SWT. Kurban atau disebut juga udhiyyah adalah jamak dari dahiyyah yang berarti menyembelih binatang pada pagi hari.[30]

Dalam sejarah umat Islam, kurban dilakukan pertama kali oleh anak nabi Adam as. Yang bernama Qabil dan Habil. Peristiwa itu terjadi karena adanya perselisihan antara kedua anak tersebut yang ingin menikahi istri berparas cantik. Pada kala itu, karena jenis keturunan manusia masih sangat sedikit, ada adat bahwa anak lelaki dari keturunan terdahulu menikahi anak perempuan berikutnya. Karena saling berebut mendapatkan istri berparas cantik, oleh Nabi Adam as. Kepada kedua anaknya ini diminta memberikan kurban, dan yang diterima kurbannya akan memperoleh gadis cantik. Dalam suatu riwayat bahwa Habil berkurban dengan seekor kambing, sedangkan Qabil berkurban dengan buah-buahan.[31]

Perbedaan Kurban dalam Agama Hindu dan Islam

Tradisi kurban dalam agama Hindu dan Islam adalah sama-sama bersumber dari kitab suci masing-masing. Namun demikian hasil pengamatan kelompok kami, ada beberapa perbedaan kurban antara kedua agama tersebut, yakni:

a.       Hukum melaksanakan kurban

Dalam agama Hindu, kurban merupakan bentuk ibadah hukumnya wajib bagi para pemeluknya, sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan Yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya juga atas Yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada sang pencipta.[32] Sedangkan dalam agama Islam, jumhur ulama sepakat bahwa ibadah kurban mempunyai hukum Sunnah muakkad bagi mereka yang mampu kecuali bagi mereka yang bernadzar (berjanji). Nadzar disini ialah mewajibkan diri untuk taqqorub kepada Allah dengan berkorban. Dengan demikian, berkurban menjadi wajib atasnya seperti halnya kalau dia mewajibkan diri melakukan ibadah apapun.

b.      Barang yang dikurbankan

Dalam Hindu, materi (barang) yang dikurbankan bisa berupa bunga, buah, air, dan lain sebagainya. Tidak berupa hewan, dan disesuaikan dengan desa, kala, patra. Biasanya persembahan itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya yaitu persembahan berupa banten atau sajen-sajen yang kesemuanya persembahan yang bersifat simbolik, yang terutama ialah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada Hyang Widhi. Sedangkan dalam Islam, materi yang dikurbankan berupa binatang ternak yang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti tidak cacat seperti mata hanya satu atau hilang satu kaki, sehat, tidak kurus kering, tidak tua dan sudah mussinah (mempunyai umur yang sudah layak untuk disembelih sebagai kurban).[33]

Kesimpulan

Alkitab adalah Firman Allah tanpa salah. Segala sesuatu yang tercatat dalam Firman Allah bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kurban yang tercatat dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan salah satu bagian yang bermanfaat untuk diketahui, karena memiliki makna yang dalam bagi orang percaya. Kurban dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara esensi tidak dapat dipisahkan. Alkitab mengajarkan bahwa kurban yang diberikan dari sisi Allah sebagai bentuk penyelamatan Allah kepada Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Sedangkan kurban yang diberikan oleh manusia merupakan sebagai respon terhadap keselamatan yang telah Allah kerjakan. Jadi berbicara mengenai kurban dalam Perjanjian Lama tidak dapat dipisahkan dengan kurban dalam Perjanjian Baru, karena kurban dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran dari apa yang dinyatakan dalam Perjanjian Baru (pengorbanan Kristus) dan barang siapa yang meresponi Kurban Kristus, maka akan diselamatkan. Dalam Perjanjian Lama, umat Tuhan diselamatkan melalui iman kepada Kristus yang akan datang ke dunia sebagai penggenapan janji Allah. Orang Percaya dalam Perjanjian Baru diselamatkan melalui imannya kepada Kristus yang datang ke dunia sebagai penebus melalui pengorbanan-Nya. Dan orang percaya saat ini diselamatkan melalui imannya kepada Kristus yang pernah datang ke dunia menjadi kurban untuk menebus manusia dari dosa.

Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. (2005). Tuntunan Qurban dan Aqiqah. Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. Keenam.

Bakker, F. L. (2016). Sejarah Kerajaan Allah 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Browning, W. R. F. (2011). Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Departemen Agama RI. (1992/1993) Ensiklopedia Islam di Indonesia, Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN, Jakarta.

Ensiklopedi Nasional Indonesia. (1991). Jakarta: PT. Cipta Adi Poustaka. Jilid 17.

Gara, Nico. (2002). Menafsirkan Alkitab Secara Praktis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Guthrie, Donald. (2008). Teologi Perjanjian Baru 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hadiwijono, Guthrie dan Harun. (2006). Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Matius – Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.

Netra, Anak Agung Gde Oka. (1997). Tuntunan Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.

Park, Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri 1: Silsilah Di Kitab Kejadian. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.

Park, Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri 2: Pertemuan Yang Terlupakan. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.

Park, Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri 5: Janji Dari Perjanjian Kekal. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.

Paska, Paskalis Edwin I Nyoman. (2011). Perempuan Sumber Dosa? Malang: DIOMA.

Pendit, Nyoman S. (2002). “Bhagavadgita”. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.

Purwanto, Ani Teguh. Arti Kurban Menurut Kitab Imamat.

Rowley, H. H. (2015). Ibadat Israel Kuno. Jakarta: PBK Gunung Mulia.

Slemming, C. W. (2008). Thus Shalt Thou Server. Surabaya: Yakin.

Stedman, Ray C. (2003). Petualangan Menjelajahi Perjanjian Lama. Jakarta: PT. Duta Harapan Dunia.

Tobing, Evendy. (2021). Teologi Perjanjian Lama. Malang: Steviera Literatur.

Victor, Harold L. (2009). Betapa Dahsyatnya Darah Yesus. Malang: Gandum Mas.

Wahyu, Rita. (2018). Eksegesis Peshat Kitab Kejadian. Malang: Lecture & Disciplship.

Walvoord, John F. (1969). Yesus Kristus Tuhan Kita. Surabaya: YAKIN.

Yunus, Mahmud. (1973). Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan atau Penafsir al-Qur’an.

 



[1]Abraham Park, Sejarah Penebusan Seri 2: Pertemuan Yang Terlupakan, (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 41.

[2]Evendy Tobing, Teologi Perjanjian Lama, (Malang: Steviera Literatur, 2021), 1.

[3]Nico Gara, Menafsirkan Alkitab Secara Praktis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 24.

[4]Abraham Park, Sejarah Penebusan Seri 1: Silsilah Di Kitab Kejadian (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 35.

[5]W. R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 11.

[6]Ibid,

[7]Abraham Park, Sejarah Penebusan Seri 5: Janji Dari Perjanjian Kekal, (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 28

[8]Ibid, 40

[9]Abraham Park, Sejarah Penebusan Seri 2: Pertemuan Yang Terlupakan, 25.

[10]Harold Victor L., Betapa Dahsyatnya Darah Yesus, (Malang: Gandum Mas, 2009), 261-263.

[11]Ibid, 263.

[12]Rita Wahyu, Eksegesis Peshat Kitab Kejadian (Malang: Lecture & Disciplship, 2018), 287-288.

[13]Rita Wahyu, Eksegesis Peshat Kitab Kejadian (Malang: Lecture & Disciplship, 2018), 288-289.

[14]Ibid, 289

[15]Paskalis Edwin I Nyoman Paska, Perempuan Sumber Dosa? (Malang: DIOMA, 2011), 252.

[16]Ibid, 289.

[17]F.L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 42.

[18]Abraham Park, Sejarah Penebusan Seri 1: Silsilah Di Kitab Kejadian, 63.

[19]Ibid, 63.

[20]H. H. Rowley, Ibadat Israel Kuno (Jakarta: PBK Gunung Mulia, 2015), 17

[21]Ani Teguh Purwanto, arti Kurban Menurut Kitab Imamat. Vol. 02, No. 02, hlm. 8

[22]C. W. Slemming, Thus Shalt Thou Serve (Surabaya: Yakin, 2012), 9. Terjemahan

[23]Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 48

[24]Ray C. Stedman, Petualangan Menjelajahi Perjanjian Lama, (Jakarta: PT. Duta Harapan Dunia, 2003), 103.

[25]Guthrie dan Harun Hadiwijono. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Matius – Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006), 423.

[26]John F. Walvoord. Yesus Kristus Tuhan Kita (Surabaya: YAKIN, 1969), 63.

[27] Ensiklopedi Nasional Indonesia, PT. Cipta Adi Poustaka, Jilid 17, Jakarta, 1991, hlm. 335

[28] Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar Agama Hindu, Hanuman Sakti, Jakarta, 1997, hlm. 47.

[29] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 335.

[30] Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Jakarta, 1992/1993. Hlm. 969.

[31] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tuntunan Qurban dan Aqiqah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. Keenam, 2005, hlm. 1-2.

[32] Nyoman S. Pendit, “Bhagavadgita”, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2002, hlm. 66.

[33] Ibid, hlm. 183-184

Post a Comment

0 Comments