“KURBAN DALAM PERJANJIAN LAMA”
Disusun Oleh:
Rizky Arya Susanto
Samuel R.S. Batubara
Vivi Alida Zebua
Latar Belakang Masalah
Alkitab
adalah firman Allah tanpa salah. Yang dimaksud Alkitab adalah firman Allah
tanpa salah adalah 66 kitab yang telah dikanon. Secara garis besar Alkitab
dibagi menjadi dua bagian, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Menurut
Abraham Park dalam buku sejarah penebusan seri yang ke-2, Perjanjian Lama
merupakan sebuah perjanjian mengenai Yesus Kristus yang akan datang sedangkan
Perjanjian Baru merupakan sebuah penggenapan mengenai Yesus Kristus yang telah
datang sebagai Juruselamat serta merupakan janji mengenai Dia yang akan datang
kembali yang kedua kalinya (Kis. 1:11, Why. 1:7).[1] Menurut
Evendy Tobing dalam bukunya yang berjudul “Teologi Perjanjian Lama” mengatakan
bahwa Perjanjian Lama tidak dapat dipisahkan dengan Perjanjian Baru karena
Perjanjian Lama bagian terbesar dari keseluruhan Alkitab Perjanjian Baru.[2]
Perjanjian
Lama (secara khusus kitab Kejadian) mencatat seluruh asal-usul dunia ini. Dalam
bahasa Ibrani judul kitab Kejadian disebut בְּרֵאשִׁית “beresyit”
yang berarti pada mulanya, kata tersebut sesuai dengan kata pembuka dalam kitab
Kejadian. Salah satu yang menjadi pokok penting dalam kitab Kejadian yaitu
membahas mengenai kurban. Dalam Perjanjian Lama (secara khusus kitab Kejadian),
kata kurban muncul pertama kali ketika Kain dan Habel memberi persembahannya
kepada Tuhan (Kej. 4:1-16). Persembahan yang diberikan Kain tidak diindahkan
oleh Tuhan, sehingga Kain sakit hati dan membunuh Habel adiknya.[3]
Namun secara implisit kurban pertama kali muncul dalam Kejadian 3, dimulai
dengan janji tentang “Keturunan Perempuan” ketika kejatuhan Adam dan Hawa (Kej.
3:15). Setelah memberikan janji tersebut kemudian Allah membuat pakaian dari
kulit binatang (Kej. 3:21). Hal kulit binatang yang digunakan untuk membuat
pakaian menunjukan bahwa binatang mencurahkan darah dan mati, akibat dosa manusia.
Hal tersebut merupakan gambaran dari Yesus Kristus yang tidak ada dosa,
mengalirkan darah dan mati dikayu salib sebagai penebus dosa manusia (Yoh.
1:29; 1Kor. 5:7; Why. 5:6).[4]
Dengan demikian penulis akan membahas lebih jauh mengenai kurban dalam Perjanjian
Lama serta relevansinya dalam Perjanjian Baru mengenai kurban Kristus sebagai
Kurban yang sempurna.
Pengertian Kurban
Kurban merupakan suatu hal yang dipersembahkan
kepada Allah. Menurut kebudayaan Yahudi kurban berkaitan erat dengan dosa atau pelanggaran-pelanggaran
yang memerlukan penebusan. Biasanya binatang (sebagai tanda atau bayangan) yang
menjadi kurban untuk menggantikan dosa manusia yang telah melakukan
pelanggaran. Dalam Perjanjian Baru kurban menjadi pokok penting karena
menjelaskan tentang penggenap dari kurban dalam Perjanjian Lama. Kurban dalam
Perjanjian Baru dapat dilihat melalui kematian Kristus dikayu salib untuk menebus
setiap manusia dari dosa.[5] Kata
kurban atau korban selaras dengan kata persembahan, kurban merupakan sesuatu yang
dipersembahakan dan persembahan merupakan bentuk dari kurban tersebut. Secara
esensi kurban persembahan merupakan pemberian kepada Allah sebagai penebusan
terhadap dosa yang dilakukan.[6] Hal
tersebut jelas tidak dapat dilakukan oleh manusia, karena Allah itu kudus dan
manusia telah berdosa. Maka karena itu, Allah yang memberikan solusi atau jalan
keluar bagi manusia untuk manusia kembali memiliki relasi dengan Allah.
Asal Usul dan Tujuan Kurban Dalam Perjanjian Lama
Kurban Zaman Adam dan Hawa
Kitab
Kejadian mencatat bahwa “manusia
diciptakan menurut gambar dan rupa Kita” בְּצַלְמֵנוּ כִּדְמוּתֵנוּ besalmenu kidmutenu dalam bahasa Ibrani tidak
menggunakan kata sambung diantara kedua kata “gambar” dan “rupa”. Hal tersebut
berarti menjelaskan manusia memiliki isi yang sama meskipun dalam bentuk yang
berbeda. Manusia diciptakan menurut gambar Allah (Kej. 5:1, 9:6) memiliki
maksud bahwa Gambar Allah “image” atau
dalam bahasa Ibrani “selem”. Kata ini
menunjukan simbol atau gambaran besar atau garis besarnya. Dengan kata lain hal
ini menunjuk pada tiruan (replica) atau representasi (emblem) dari satu wujud
asli.[7]
Kemudian Allah menempatkan manusia yang diciptakan-Nya
itu di Taman Eden dengan dua pekerjaan yang harus dilakukan dan perintah larangan.
Kedua perintah tersebut adalah mengusahakan dan memelihara taman Eden (Kej.
2:15) sedangkan perintah larangan yang harus dijaga manusia yaitu tidak boleh
memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat (Kej.
2:16-17). Perintah larangan tersebut merupakan penyataan Allah kepada manusia
untuk mengetahui bahwa meskipun manusia segambar dan serupa dengan Allah dan
memiliki otoritas penuh dari segala ciptaan yang ada, bukan berarti manusia
adalah Allah. Sebab hanya Allah Pencipta langit dan bumi saja yang memiliki
otoritas penuh yang melebihi manusia sebagai makhluk ciptaan.[8] Namun
Adam dan Hawa tidak menaati Firman, tidak percaya, dan sombong sehingga manusia
pertama tersebut kehilangan kekuatan untuk menaklukkan dan menguasai dunia.
Manusia yang seharusnya diciptakan Allah dapat membangun relasi secara langsung
dengan Allah sehingga memperoleh hidup kekal (Pkh. 3:11), tetapi akibat dosa
membuat status manusia berubah menjadi makhluk yang tidak bisa mengelak dari
kematian. Manusia menjadi berada dibawah kendali Iblis dan dikuasainya,
sehingga murka Allah turun kepada manusia (Ef. 2:2-3).[9]
Dalam
Perjanjian Lama hukum yang ditetapkan merupakan hukum yang sangat menakutkan
bagi para pembaca dewasa ini. Dimana hukum dalam Perjanjian Lama mengatakan: “nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi
ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki”. Itulah yang harus
dilaksanakan dalam Perjanjian Lama. Melanggar ketetapan Allah akan mendapatkan
hukuman. Penerapan tersebut dimulai sejak zaman Adam dan Hawa ketika pasangan
tersebut melakukan pelanggaran. Keberdosaan Adam dan Hawa dimulai ketika
memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat. Hal itu membuat keduanya
telanjang dan kehilangan jubah kemuliaan Allah. Jubah kemuliaan yang dipakainya
telah lenyap sehingga mereka bersembunyi dari hadapan Allah karena keduanya
sangat takut akan kematian. Kematian tersebut adalah konsekuensi terhadap hukum
Allah. Adam dan Hawa berusaha bersembunyi dan berusaha menutupi ketelanjangan
tubunya dengan daun-daunan pohon ara untuk mencegah ketakutan dan rasa malu.
Namun usaha untuk menutupi tubuhnya ternyata
sama sekali tidaklah layak menurut cara pandang Allah.[10]
8Ketika mereka mendengar bunyi
langkah TUHAN Allah, yang berjalan-jalan dalam taman itu pada waktu hari sejuk,
bersembunyilah manusia dan isterinya itu terhadap TUHAN Allah di antara
pohon-pohonan dalam taman. 9Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu
dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?" 10Ia
menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku
menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi." (Kej. 3:8-10 ITB).
Oleh
karena kasih dan kemurhan-Nya, Allah mengambil kulit binatang untuk menutpi
tubuh Adam dan Hawa.
Dan TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk
isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka (Kej. 3:21 ITB).
Menurut Harold Victor L.,
binatang yang diambil kulitnya pasti ada darah yang dicurahkan. Dengan adanya
kulit binatang (yang harus disembelih) yang dijadikan pakaian untuk membungkus
tubuh Adam dan Hawa, maka keduanya dapat menutupi rasa malunya, sehingga
keduanya dapat berkomunikasi dan membangun relasi lagi dengan Allah. Jadi,
pencurahan darah binatang merupakan jalan satu-satunya untuk manusia mengalami
pendamian dengan Allah.[11]
Kata yang digunakan
dalam bahasa Ibrani yang diterjemahkan sebagai “pakaian” untuk ayat diatas
yaitu: כֻּתֹּנֶת – KUTONET, yang bermakna “baju dalam”
untuk menutupi tubuh karena rasa malu, sebab auratnya kelihatan. Bahasa Ibrani
Modern kata כֻּתֹּנֶת
– KUTONET dapat diartikan juga sebagai “baju dalaman, atau juga shirt atau kemeja sebelum menggunakan
jacket/ jas. Namun, kata tersebut lebih sering digunakan dalam artian kemeja.
Pakaian dari kulit ini diambil dari binatang yang harus mati untuk diambil
kulitnya, yang kemudian dipakai untuk menutupi ketelanjangan Adam.[12]
Upah
Dosa Adalah Maut
“Janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau
memakannya, pastilah engkau mati" (Kej.
2:17). Hal tersebut merupakan pernyataan Allah yang pertama mengenai
konsekuensi yang harus manusia terima pada saat melanggar ketetapan yang Allah
telah berikan kepadanya. Ketika Adam dan Hawa pertama kali jatuh ke dalam dosa,
pernyataan tersebut menjadi bukti bahwa Allah tidak berkompromi dengan dosa
sehingga Adam dan Hawa menerima resiko akibat perbuatannya. Kedua orang
tersebut terusir dari Taman Eden dan tidak dapat bergaul dengan Allah secara
langsung seperti sebelumnya. Ada gap yang memisahkan antara Allah dengan
manusia yang telah berdosa. Dampak yang diterimanya setelah jatuh alam dosa
yaitu: Pertama, Penderitaan (Kej.
3:16). Kedua, Susah payah (Kej.
3:17). Ketiga, Kematian (Kej. 3:19).[13]
Konsekuensi ketiga bagi manusia
adalah: “kematian” yang merupakan konsekuensi terberat bagi manusia. Alkitab
memberi informasi kepada pembaca saat ini bahwa oleh karena dosa manusia, semua
manusia tunduk kepada kematian, dan konsekuensi tersebut bukan hanya kematian
badani saja, melainkan juga kematian kekal, seperti kematian kedua atau
kebinasaan abadi. Hal tersebut telah dinyatakan sejak dari mulanya dalam kitab
Kej. 2:16-17. Hal tersebut juga dikutip oleh Rasul Paulus dalam Rm. 6:23a yang
merupakan hasil dari “midrasih” (study komparatif) yang dipelajari oleh rasul
Paulus sejak kejatuhan manusia dalam dosa. Dimana inisiatif Allah untuk
menutupi rasa malu Adam sehingga memberikan “pakaian” dari kulit binatang. Ini
merupakan typology dari “penutupan dosa” yang akan digenapi oleh Yesus Kristus
dalam Perjanjian Baru sebagai kurban persembahan yang tidak bercacat.[14]
Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr.
Paskalis Edwin I Nyoman Paska dalam bukunya yang berjudul “Perempuan Sumber
Dosa?”
Ketelanjangan dalam Alkitab menunjukan apa artinya
menjadi seorang yang diciptakan, yakni memiliki kelemahan dan keterbatasan.
Manusia rapuh, terbatas oleh ruang dan waktu. Semua itu berubah menjadi sesuatu
yang memalukan karena dosa. Allah membuat pakaian dari kulit binatang, simbol
anugerah keselamatan untuk manusia (Kej. 3:21). [15]
Dengan demikian
adanya binatang yang dikurbankan dan kulitnya dijadikan penutup bagi aurat Adam
merupakan satu penggambaran secara tipologis yang pertama kalinya dari Allah,
tentang darah yang sempurna dari Tuhan Yesus Kristus sebagai Mesias. Dan
peristiwa tersebut dipakai sebagai ritual Hukum Taurat sebagai ketentuan
penghapus dosa dan darah.[16]
Kurban Sebagai Respon Manusia
Zaman Kain dan
Habel
Akibat
dosa manusia, akhirnya Tuhan mengusir manusia dari Taman Eden. Dosa yang
dilakukan oleh manusia semakin lama menjadi meluas dan mendalam. Hal tersebut
dapat dilihat dalam pasal 4 yang menceritakan pembunuhan pertama dalam sejarah
dunia.
Adam
dan Hawa memiliki anak yang bernama Kain dan Habel. Alkitab mencatat bahwa
kedua kakak beradik itu melakukan pekerjaan yang berlainan. Kain menjadi petani
sedangkan Habel menjadi gembala yang memeliharan domba dan kambing. Kemudian
keduanya membawa hasil pekerjaannya untuk dikorbankan kepada Tuhan. Kain
membawa hasil tenaganya: hasil bumi, sedangkan Habel mempersembahkan anak
sulung kambing dombanya dengan lemak binatang itu, karena inilah bagian yang
terbaik dari binatang yang dikorbankan.
Disini
terlihat perbedaan kurban persembahan yang diberikan oleh kedua kakak beradik
tersebut. Alkitab mencatat bahwa persembahan Kain tidak diindahkan-Nya,
sedangkan persembahan Habel diterima-Nya. Menurut F. L. Baker dalam bukunya
yang berjudul “Sejarah Kerajaan Allah 1”
mencatat bahwa persembahan Kain ditolak-Nya bukan karena persembahan itu
hasil bumi dan bukan hewan, dan persembahan Habel diterima-Nya juga bukanlah
karena yang dikorbankan adalah korban berdarah, sebab Tuhan juga menerima
persembahan makanan. Jadi bedanya bukan terletak pada keadaan korban yang telah
diberikan oleh Kain dan Habel tersebut, melainkan pada keadaan batin seseorang
yang mengorbankannya.[17]
Setelah Allah tidak
mengindahkan persembahan Kain, seharusnya respon yang diberikan Kain adalah
bertobat dan menyadari dengan mempersembahkan kurban lagi kepada Allah. Namun
respon yang diberikan Kain tidak terduga. Hatinya menjadi sangat panas dan
mukanya muram dihadapan Allah (Kej. 4:5-6). Di ayat selanjutnya, Allah juga
melihat bahwa dosa sangat menggoda Kain dan menasihatinya agar berkuasa atas
dosa. Namun, Kain telah melewatkan kesempatan yang diberikan Allah untuk
bertobat, justru Kain memukul dan membunuh Habel. Inilah pembunuhan pertama
sepanjang sejarah yang dilakukan oleh Kain kepada Habel.[18]
Allah memberi kesempatan lagi kepada Kain untuk bertobat.
Dengan menggunakan pertanyaan seperti yang telah ditanyakan kepada Adam yang
bersembunyi dari Allah “Di manakah
engkau?” (Kej. 3:9), Allah bertanya juga kepada kain, “Di mana Habel, adikmu itu?” (Kej. 4:9). Allah bertanya seperti demikian
bukan karena tidak tahu dimana Adam sedang bersembunyi. Demikian juga, bukan
karena Allah tidak tahu apa yang terjadi dengan Habel. Allah memiliki maksud
melalui pertanyaan tersebut supaya Kain bertobat dengan mengakui segala
kesalahan yang telah diperbuatnya.[19]
Esensi daripada pertobatan bukan hanya sebuah penyesalan tetapi mengalami
keubahan hidup yang dimulai melalui pengakuan kepada Allah dan hal ini tidak
dilihat pada diri Kain!
Zaman Nuh
Dalam Kejadian 6 menjelaskan kejahatan manusia semakin
bertambah, sangat parah sehingga Allah mendatangkan penghakiman atas bumi.
Penghakiman ini sebagai hukuman Allah yang sangat menakutkan terhadap generasi
yang hidup mengikuti kejahatan pada saat itu. Akan tetapi di tengah zaman yang
penuh dengan kejahatan, Nuh mendapat kasih karunia di mata Allah (Kej. 6:8).
Yang perlu diperhatikan adalah, bahwa Nuh mendapatkan kasih karuni bukan
berdasarkan karena hidupnya bergaul dengan Allah, hidupnya benar dan tidak
bercela diantara orang sezamannya. Nuh mendapatkan kasih karunia supaya mampu
berbuat baik kepada setiap manusia. Namun sangat ironis, bahwa penginjilan yang
Nuh lakukan kepada orang banyak tidak mendatangkan respon yang baik dari
manusia sezamannya sehingga pada saat penghakiman atau hukuman Allah datang
melalui Air Bah, semua orang binasa kecuali keluarga Nuh. Setelah Air Bah itu
surut, Nuh mendirikan mezbah bagi Tuhan (Kej. 8:20). Mezbah yang didirikan oleh
Nuh untuk mempersembahkan kurban bakaran bukan agar Nuh diselamatkan, tetapi
sebagai respon yang diberikan Nuh, bahwa dirinya mendapatkan kasih karunia
sehingga diselamatkan dari hukuman Allah.
Zaman Keimamatan
Bapa Leluhur memandang
persembahan kurban merupakan sebuah bentuk pernyataan rasa hormat pribadi
kepada Allah, juga merupakan pengekspresian ibadat pribadi (bukan partisipasi)
dalam suatu budaya yang sudah resmi dan umum. Jadi bapa leluhur menyatakan rasa
hormat terhadap Tuhan dengan cara-cara yang mirip dengan cara masyarakat
disekitarnya yaitu dengan upacara kurban. Alasan yang signifikan ketika bapa leluhur
mempersembahkan kurban yaitu ketika dikunjungi secara pribadi oleh Allah dalam
bentuk oknum ilahi, bentuk malaikat atau dalam bentuk mimpi dan juga ketika bapa
Leluhur ingin memanggil nama Tuhan serta menghadap kepada-Nya dalam ibadat.[20]
Kurban
merupakan istilah yang tidak asing dalam Perjanjian Lama, terlebih ketika
membaca kitab Imamat. Banyak orang yang menganggap bahwa kitab Imamat adalah
kitab yang kurang menarik dan sukar untuk dipahami, sehingga mendapat tanggapan
tidak penting untuk dipelajarin dan diajarkan. Salah satu alasan kitab tersebut
menjadi kurang menarik yaitu karena banyak membahas tentang persembahan kurban
sebagai ketetapan untuk bangsa Israel lakukan. Persembahan kurban dianggap
menjadi tidak penting bagi orang percaya dewasa ini, karena sudah digenapi oleh
Tuhan Yesus dalam Perjanjian Baru.[21]
Menurut
C. W Slemming mempersembahkan kurban dalam Perjanjian Lama merupakan sebuah
bentuk pengungkapan bagi perjalanan hidup manusia dalam mengikuti Allah. Selain
itu, kurban juga dapat menjadi peringatan hari-hari raya yang ditunjukan
manusia kepada Allah sebagai perjalanan hidup manusia bersama dengan Allah
untuk melewati pemisahan dari kefasikan.[22] Donald
Guthrie mengatakan bahwa kurban merupakan sarana manusia untuk menghampiri
Allah. Dalam sistem imamat, Lewi membawa lima jenis persembahan yang
berbeda-beda seperti: Kurban bakaran, kurban sajian, kurban keselamatan, kurban
penghapus dosa dank urban penebus salah. Masing-masing dari kurban tersebut
memiliki tujuan khusus dalam
membangun relasi dengan Allah. Allah melambangkan kurban sebagai syarat
perjanjian yang hakiki (Im. 17:11). Persembahan kurban diberikan sebagai bentuk
belas kasihan ilahi yang dimaksudkan untuk memampukan manusia untuk mendekati
Allah bukan untuk mencegah pendekatan itu. Ahli-ahli telah menyodorkan banyak
teori untuk menjelaskan fungsi kurban itu. Ada yang melihatnya sebagai
pemberian, ada juga yang melihatnya sebagai persekutuan, dan yang lain
memandangnya sebaai penyerahan hidup. [23]
Dengan
demikian pembahasan kurban dalam Perjanjian Lama merupakan suatu hal yang
penting untuk. Karena semua persembahan kurban, ritual, dan upacara dalam
Perjanjian Lama merupakan bayangan dari Karya penyelamatan Yesus Kristus dalam
Perjanjian Baru.[24] Jadi kurban persembahan
merupakan bentuk respon yang umat berikan kepada Allah karena bukan sebagai syarat
untuk memperoleh keselamatan. Sebab keselamatan adalah pekerjaan Allah secara
mutlak, tanpa campur tangan manusia sedikitpun.
Kurban Dalam
Perjanjian Baru
Roma 3:24-25, Tetapi
sekalipun semua manusia dalam keadaan dosa, namun pembenaran adalah cuma-cuma
atau oleh kasih karunia. Kristus adalah pendamaian yang dikaruniakan oleh Tuhan
dan harus diterima oleh iman. Darah Kristus adalah harga yang telah diterima
dalam kemurahan hati Allah dan karena darah ini dosa-dosa manusia telah
dihapus. Paulus menyebut dasar kebenaran dengan dua ungkapan yang khas: karena penebusan dalam Kristus Yesus dan
Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman,
dalam darah-Nya. Kata penebusan dalam bahasa Yunani disebut apolytrōsis yang berarti ‘kelepasan yang
terjadi karena uang tebusan sudah dibayar, dari sini artinya ‘pembebasan’,
‘emansipasi’, atau ‘kelepasan’. Kata pemdamaian dalam bahasa Yunani yaitu hilasteriōn yang berasal dari kata kerja hilaskomai yang mempunyai tiga arti:
melembutkan hati; atau mendamaikan seseorang; berbelaskasihan; atau membuat
pendamaian. Perjanjian Baru memakai arti yang kedua dan ketiga (lih. Luk. 18:13
dan Yoh. 2:2).
Maksudnya bukan bahwa Allah yang murka dijadikan senang lagi oleh
manusia yang berdosa, melainkan Allah yang berbelaskasihan membayar hukuman
dosa dengan kematian Anak-Nya yang menebus. Walaupun demikian gagasan adanya
murka yang adil terhadap dosa tidak hilang. Jadi, Kristus adalah alat untuk
memberikan pembayaran bagi dosa dan pembayaran ini terjadi karena kematian
Yesus karena darah-Nya lambang dari hidup yang dikorbankan (bnd. Kej. 9:4; Im.
17:11; Ul. 12:23). Jadi, terjemahan ‘oleh darah-Nya diterima oleh iman’.[25]
Korban-korban dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran yang membayangkan
pengorbanan Kristus. Hampir dari setiap aspek dari arti kematian Kristus
digambarkan sebelumnya. Pusat dari korban-korban itu yaitu penumpahan darah,
yang memandang kepada pengorbanan Kristus. Penjelasan yang diberikan dalam
Perjanjian Lama yaitu bahwasanya darah itu ditumpahkan untuk mengadakan
pemdamaian, dalam Im. 7:11 menunjukkan typologi dari korban itu.[26]
Relevansi
YESUS |
Dalam Perjanjian Lama, kurban merupakan typology kurban Kristus yang akan datang, ketika umat Tuhan
mempersembahkan persembahan Kurban, yang diperhitungan adalah imannya terhadapa
perintah dan janji Allah kepada umat percaya pada saat itu. Jadi, kurban yang
diberikan bukanlah sebuah syarat untuk manusia diselamatkan tetapi sebagai
bentuk respon terhadap perintah dan janji Tuhan bagi umat manusia. Dalam
Perjanjian Baru janji Allah digenapi Kristus, melalui pengorbanan-Nya di kayu
salib, sehingga barangsiapa yang percaya kepada-Nya beroleh hidup kekal (Yoh.
3:16). Relevansi pengorbanan Kristus untuk orang percaya saat ini yaitu, setiap
orang percaya saat ini beriman kepada Kristus yang pernah datang ke dunia
sebagai penebus umat manusia. Orang percaya tidak perlu lagi mempersembahkan
kurban seperti zaman Perjanjian Lama, karena hal tersebut telah digenapi
melalui Kristus Yesus di kayu salib.
Kurban Menurut Agama-Agama
Kurban
dalam Agama Hindu
Kurban dalam agama
Hindu disebut dengan istilah Yadnya atau
Yajna. Yadnya bagi umat Hindu adalah sajian-sajian yang dipersembahkan
dalam upacara keagamaan. Menurut Bagawad Gita, taat kepada agama di ekspresikan
melalui upacara, tapabrata, dan sedekah yang semuanya dilaksanakan tanpa
pamrih. Yang merupakan inti upacara keagamaan ini adalah persembahan yang
disebut Yadnya. Seperti halnya
tapabrata dan sedekah. Yadnya merupakan
kewajiban hidup yang harus dilaksanakan penuh kasih sayang dan tanpa pamrih.[27]
Kata Yadnya apabila ditinjau secara etimologi
ialah berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata yaj yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan
suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara.
Dari akar kata itu timbul kata yaja (kata-kata
dalam pemujaan, yajata (layak
memperoleh penghormatan), yajus (sacral,
retus, agama) dan Yajna (pemujaan,
doa, persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.[28]
Dari keterangan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa kurban dalam ibadah Hindu disebut dengan istilah
Yadnya. Yadnya adalah suatu upacara keagamaan agama Hindu yang didasarkan
atas cinta kasih, pengabdian yang tulus ikhlas dengan tanpa pamrih. Ritual ini
dilakukan dengan kesadaran bahwa Hyang Widhi menciptakan ini dengan segala
isinya termasuk manusia dengan berkurban. Oleh karena itu, untuk dapat hidup
yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan Yadnya (kurban), baik kepada Hyang Widhi
maupun kepada sesama makhluk hidup yang akan membawa manfaat yang amat besar
bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.
Kurban dalam Agama
Islam
Kata kurban secara
bahasa berasal dari kata qaruba – yaqrabu
– qurban – qurbanan yang berarti menghampirinya atau mendekatinya.[29]
Sedangkan kurban dalam pengertian agama Islam ialah menyembelih binatang
tertentu pada hari raya Haji dan hari-hari Tasyriq (yaitu tanggal 11, 12, dan
13 Dzulhijjah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara/syarat/syariah
dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Alah SWT. Kurban atau
disebut juga udhiyyah adalah jamak
dari dahiyyah yang berarti
menyembelih binatang pada pagi hari.[30]
Dalam sejarah umat Islam,
kurban dilakukan pertama kali oleh anak nabi Adam as. Yang bernama Qabil dan
Habil. Peristiwa itu terjadi karena adanya perselisihan antara kedua anak
tersebut yang ingin menikahi istri berparas cantik. Pada kala itu, karena jenis
keturunan manusia masih sangat sedikit, ada adat bahwa anak lelaki dari
keturunan terdahulu menikahi anak perempuan berikutnya. Karena saling berebut
mendapatkan istri berparas cantik, oleh Nabi Adam as. Kepada kedua anaknya ini
diminta memberikan kurban, dan yang diterima kurbannya akan memperoleh gadis
cantik. Dalam suatu riwayat bahwa Habil berkurban dengan seekor kambing,
sedangkan Qabil berkurban dengan buah-buahan.[31]
Perbedaan Kurban dalam Agama Hindu dan Islam
Tradisi
kurban dalam agama Hindu dan Islam adalah sama-sama bersumber dari kitab suci
masing-masing. Namun demikian hasil pengamatan kelompok kami, ada beberapa
perbedaan kurban antara kedua agama tersebut, yakni:
a. Hukum melaksanakan kurban
Dalam agama Hindu, kurban merupakan bentuk ibadah hukumnya wajib bagi para pemeluknya, sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan Yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya juga atas Yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada sang pencipta.[32] Sedangkan dalam agama Islam, jumhur ulama sepakat bahwa ibadah kurban mempunyai hukum Sunnah muakkad bagi mereka yang mampu kecuali bagi mereka yang bernadzar (berjanji). Nadzar disini ialah mewajibkan diri untuk taqqorub kepada Allah dengan berkorban. Dengan demikian, berkurban menjadi wajib atasnya seperti halnya kalau dia mewajibkan diri melakukan ibadah apapun.
b. Barang yang dikurbankan
Dalam Hindu, materi (barang) yang dikurbankan bisa berupa bunga, buah, air, dan lain sebagainya. Tidak berupa hewan, dan disesuaikan dengan desa, kala, patra. Biasanya persembahan itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya yaitu persembahan berupa banten atau sajen-sajen yang kesemuanya persembahan yang bersifat simbolik, yang terutama ialah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada Hyang Widhi. Sedangkan dalam Islam, materi yang dikurbankan berupa binatang ternak yang memenuhi syarat-syarat tertentu seperti tidak cacat seperti mata hanya satu atau hilang satu kaki, sehat, tidak kurus kering, tidak tua dan sudah mussinah (mempunyai umur yang sudah layak untuk disembelih sebagai kurban).[33]
Kesimpulan
Alkitab
adalah Firman Allah tanpa salah. Segala sesuatu yang tercatat dalam Firman Allah
bermanfaat untuk mengajar, menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan
untuk mendidik orang dalam kebenaran. Kurban yang tercatat dalam Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru merupakan salah satu bagian yang bermanfaat untuk
diketahui, karena memiliki makna yang dalam bagi orang percaya. Kurban dalam
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara esensi tidak dapat dipisahkan.
Alkitab mengajarkan bahwa kurban yang diberikan dari sisi Allah sebagai bentuk
penyelamatan Allah kepada Manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Sedangkan kurban
yang diberikan oleh manusia merupakan sebagai respon terhadap keselamatan yang
telah Allah kerjakan. Jadi berbicara mengenai kurban dalam Perjanjian Lama
tidak dapat dipisahkan dengan kurban dalam Perjanjian Baru, karena kurban dalam
Perjanjian Lama merupakan gambaran dari apa yang dinyatakan dalam Perjanjian
Baru (pengorbanan Kristus) dan barang siapa yang meresponi Kurban Kristus, maka
akan diselamatkan. Dalam Perjanjian Lama, umat Tuhan diselamatkan melalui iman
kepada Kristus yang akan datang ke dunia sebagai penggenapan janji Allah. Orang
Percaya dalam Perjanjian Baru diselamatkan melalui imannya kepada Kristus yang
datang ke dunia sebagai penebus melalui pengorbanan-Nya. Dan orang percaya saat
ini diselamatkan melalui imannya kepada Kristus yang pernah datang ke dunia
menjadi kurban untuk menebus manusia dari dosa.
Daftar Pustaka
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. (2005). Tuntunan
Qurban dan Aqiqah. Semarang: Pustaka Rizki Putra, cet. Keenam.
Bakker,
F. L. (2016). Sejarah Kerajaan Allah 1.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Browning,
W. R. F. (2011). Kamus Alkitab.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Departemen
Agama RI. (1992/1993) Ensiklopedia Islam di Indonesia, Proyek Peningkatan
Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama atau IAIN, Jakarta.
Ensiklopedi
Nasional Indonesia. (1991). Jakarta: PT. Cipta Adi Poustaka. Jilid 17.
Gara,
Nico. (2002). Menafsirkan Alkitab Secara
Praktis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Guthrie,
Donald. (2008). Teologi Perjanjian Baru 2.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hadiwijono,
Guthrie dan Harun. (2006). Tafsiran Alkitab
Masa Kini 3, Matius – Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Netra,
Anak Agung Gde Oka. (1997). Tuntunan
Dasar Agama Hindu. Jakarta: Hanuman Sakti.
Park,
Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri
1: Silsilah Di Kitab Kejadian. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.
Park,
Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri
2: Pertemuan Yang Terlupakan. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.
Park,
Abraham. (2017). Sejarah Penebusan Seri
5: Janji Dari Perjanjian Kekal. Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama.
Paska,
Paskalis Edwin I Nyoman. (2011). Perempuan
Sumber Dosa? Malang: DIOMA.
Pendit,
Nyoman S. (2002). “Bhagavadgita”.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Purwanto,
Ani Teguh. Arti Kurban Menurut Kitab Imamat.
Rowley,
H. H. (2015). Ibadat Israel Kuno.
Jakarta: PBK Gunung Mulia.
Slemming,
C. W. (2008). Thus Shalt Thou Server.
Surabaya: Yakin.
Stedman,
Ray C. (2003). Petualangan Menjelajahi
Perjanjian Lama. Jakarta: PT. Duta Harapan Dunia.
Tobing,
Evendy. (2021). Teologi Perjanjian Lama.
Malang: Steviera Literatur.
Victor,
Harold L. (2009). Betapa Dahsyatnya Darah
Yesus. Malang: Gandum Mas.
Wahyu,
Rita. (2018). Eksegesis Peshat Kitab
Kejadian. Malang: Lecture & Disciplship.
Walvoord,
John F. (1969). Yesus Kristus Tuhan Kita.
Surabaya: YAKIN.
Yunus,
Mahmud. (1973). Kamus Arab Indonesia.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan atau Penafsir al-Qur’an.
[1]Abraham
Park, Sejarah Penebusan Seri 2: Pertemuan
Yang Terlupakan, (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 41.
[2]Evendy
Tobing, Teologi Perjanjian Lama,
(Malang: Steviera Literatur, 2021), 1.
[3]Nico
Gara, Menafsirkan Alkitab Secara Praktis
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 24.
[4]Abraham
Park, Sejarah Penebusan Seri 1: Silsilah
Di Kitab Kejadian (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 35.
[5]W.
R. F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2011), 11.
[6]Ibid,
[7]Abraham
Park, Sejarah Penebusan Seri 5: Janji
Dari Perjanjian Kekal, (Depok: Yayasan Damai Sejahtera Utama, 2017), 28
[8]Ibid,
40
[9]Abraham
Park, Sejarah Penebusan Seri 2: Pertemuan
Yang Terlupakan, 25.
[10]Harold
Victor L., Betapa Dahsyatnya Darah Yesus,
(Malang: Gandum Mas, 2009), 261-263.
[11]Ibid,
263.
[12]Rita
Wahyu, Eksegesis Peshat Kitab Kejadian
(Malang: Lecture & Disciplship, 2018), 287-288.
[13]Rita
Wahyu, Eksegesis Peshat Kitab Kejadian
(Malang: Lecture & Disciplship, 2018), 288-289.
[14]Ibid,
289
[15]Paskalis Edwin I Nyoman Paska, Perempuan Sumber Dosa? (Malang: DIOMA,
2011), 252.
[16]Ibid,
289.
[17]F.L.
Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2016), 42.
[18]Abraham
Park, Sejarah Penebusan Seri 1: Silsilah
Di Kitab Kejadian, 63.
[19]Ibid,
63.
[20]H.
H. Rowley, Ibadat Israel Kuno (Jakarta:
PBK Gunung Mulia, 2015), 17
[21]Ani
Teguh Purwanto, arti Kurban Menurut Kitab
Imamat. Vol. 02, No. 02, hlm. 8
[22]C.
W. Slemming, Thus Shalt Thou Serve (Surabaya:
Yakin, 2012), 9. Terjemahan
[23]Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2008), 48
[24]Ray
C. Stedman, Petualangan Menjelajahi
Perjanjian Lama, (Jakarta: PT. Duta Harapan Dunia, 2003), 103.
[25]Guthrie dan Harun Hadiwijono. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, Matius – Wahyu
(Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2006), 423.
[26]John F. Walvoord. Yesus Kristus Tuhan Kita (Surabaya:
YAKIN, 1969), 63.
[27]
Ensiklopedi Nasional Indonesia, PT.
Cipta Adi Poustaka, Jilid 17, Jakarta, 1991, hlm. 335
[28]
Anak Agung Gde Oka Netra, Tuntunan Dasar
Agama Hindu, Hanuman Sakti, Jakarta, 1997, hlm. 47.
[29]
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,
Yayasan Penyelenggara Penerjemahan/Penafsir al-Qur’an, Jakarta, 1973, hlm. 335.
[30]
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam
di Indonesia, Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi
Agama/IAIN, Jakarta, 1992/1993. Hlm. 969.
[31]
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tuntunan
Qurban dan Aqiqah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, cet. Keenam, 2005, hlm.
1-2.
[32]
Nyoman S. Pendit, “Bhagavadgita”, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2002,
hlm. 66.
[33]
Ibid, hlm. 183-184
0 Comments